Senyummu Keindahanmu, Senyummu Kecantikanmu, Senyummu Bahagiamu, Senyummu Kemenanganmu
Pada dasarnya, semua orang bisa tersenyum, namun kadangkala karena ketidakseimbangan baik fisik apalagi mental membuat sebagian orang sulit untuk tersenyum. Dalam ajaran Islam, tersenyum dianggap sebagai suatu ibadah, Rasulullah saw bersabda, "Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah," (HR Muslim).
Senyum adalah sedekah, karena orang yang tersenyum adalah orang yang mampu memberikan rasa aman dan rasa persahabatan pada orang lain. Senyum juga menggambarkan karakter kondisi si pemberi senyum bahwa ia mempunyai sifat lembut, ramah, dan bersahaja. Untuk memotivasi para sahabat, suatu hari Rasulullah saw berpesan, "Janganlah kalian menganggap remeh kebaikan itu, walaupun itu hanya bermuka cerah pada orang lain," (HR Muslim).
Orang yang selalu bermuka cerah, tentu akan mendapat tempat dan disukai oleh banyak orang, sebaliknya orang yang hanya cemberut saja, mudah tersinggung dan marah akan dijauhi banyak orang. Kondisi yang terakhir justru akan merusak keseimbangan fisik, tekanan darah naik, detak jantung tidak menentu dan lekas tua. Dalam dunia kesehatan ditemukan bahwa orang yang tersenyum, tertawa tidak berlebihan, membuat jasmaninya sehat terutama dapat mengendorkan ketegangan otot wajah, wajahnya selalu terlihat berseri dan indah dipandang.
Secara filosofi, senyum adalah ekspresi optimisme dan harapan. Sedangkan marah adalah ekspresi keputusasaan dan ketidaksabaran. Senyum adalah sikap membangun, marah adalah sikap merusak. Menyikapi kondisi carut-marut bangsa ini, layaklah kita tersenyum. Sikap marah hanya akan memperkeruh kondisi, kemarahan bisa berbuah dendam, bisa menyulut pertikaian, bisa mengubur ukhuwah. Ringkasnya, marilah tersenyum dan hindari marah. "Orang yang pantas dipuji ialah orang yang masih sanggup tersenyum dalam keadaan serba menyayat memilukan hati" (Ella W Wilcox). Waallahu 'alam.
Smile up man...


 "Your day goes the way the corners of your mouth turn". "Hari-hari Anda berjalan seperti gerakan sudut mulut Anda," begitu kata pepatah. Bila tersenyum, hari-hari Anda akan menjadi lebih baik seperti tanjakan sudut bibir Anda. Bila Anda merengut, maka hari-hari akan terasa buruk, seperti sudut bibir yang turun.
Senyum adalah sedekah, padahal senyum tidak membuat kaya dan tidak mengenyangkan. Karena senyum bukan sedekah berupa harta, tetapi kita mensedekahkan kebahagiaan, yang terkadang tidak sedang kita miliki. Ketika kita memberikan senyuman tulus kepada orang lain, disaat itulah kita membagi kebahagiaan, walaupun saat itu kita sendiri tidak sedang merasa senang dan bahagia, namun senyuman yang kita berikan juga meringankan setiap “beban dipundak kita. Senyum adalah cara yang paling mudah dan paling murah untuk berbagi sukacita, harapan, dan kebahagiaan kepada sesama. ''Senyummu yang kau tunjukkan kepada saudaramu,'' sabda Nabi SAW, ''adalah sedekah.''
Senyum adalah ekspresi. Menunjukkan kebesaran jiwa dan kelapangan hati. Orang yang sering tersenyum senantiasa berwajah cerah dan menyenangkan. Walau tak tampan atau cantik, kecerahan wajahnya membuatnya simpatik dan terkesan terbuka kepada siapa saja. Ekspresi senyum mampu mencairkan kebekuan, kecemasan dan keragu-raguan. Membuat suasana hangat, akrab dan penuh keharmonisan.
Senyum juga merupakan terapi mental dan kejiwaan, merupakan upaya dari dalam diri kita untuk melawan berbagai tekanan yang kita hadapi. Dengan tersenyum, tanpa sadar kita sedang berupaya menghibur diri dari setiap masalah, mengobati mental yang terpuruk sekaligius melatihnya untuk semakin tegar. Tersenyum (sambil beristighfar) dalam kesedihan dan kesusahan, merupakan obat terbaik bagi diri untuk menemukan solusi dan keluar dari tekanan psikis.
Lihatlah bayi mungil yang baru lahir. Dia tak dapat berbahasa seperti kita, namun senyumannya mampu meluluhkan hati siapa saja yang melihatnya. Senyuman bayi begitu menggemaskan, mampu menggambarkan kebahagiaan yang tulus dan fitrah. Orang akan melakukan apa saja untuknya, walau sang bayi tak pernah menyuruh dan memerintah, namun senyumannya memiliki ribuan makna yang membuat orang berusaha untuk memahami kebutuhannya. Bila bayi menangis, itu merupakan alert bahwa ada masalah dan ketidaknyamanan, dan orang-orang disekitarnya akan berupaya mencari sumber masalahnya kemudian mencari solusinya. Dan bila sang bayi tersenyum, ada kebahagiaan yang dirasakan dan ditularkan pada siapa saja yang melihatnya. Tersenyumlah dengan ketulusan.. hati anda akan lapang dan anda akan menjadi pribadi yang hangat. Karena dengan tersenyum, anda sedang membuka pintu hati anda pada siapa saja. Senyuman yang tulus gambaran kematangan pribadi seseorang, karena senyuman adalah gambaran hati, sehingga akan turut membentuk karakter seseorang.

Senyum Itu menyehatkan


Tahukah anda? Saat tersenyum, otot mata mengerut, dua otot sudut bibir tertarik, otot di sekitar hidung juga, dua otot disudut mulut bergerak naik, dan dua otot lagi membuat bibir melebar. Kalau dihitung, ada 12 otot wajah yang bergerak saat seseorang tersenyum. Saat merengut, otot yang bergerak hanya sebelas. Sementara senyuman palsu hanya menggerakan dua otot yaitu di sudut bibir."Saya bisa tahu senyuman seseorang tulus atau palsu dengan cara melihat matanya. Seseorang yang tersenyum palsu matanya tidak ikut tersenyum," kata David Song, MD, FACS., ahli bedah plastik Universitas Chicago Hospital.
“Jika tersenyum, otak mereka mengeluarkan seretonin yang meningkatkan sistem kekebalan tubuh mereka,” sahut Patch Adams, seorang Doktor Kesehatan yang hingga kini masih hidup di West Virginia, Amerika Serikat. Ketika seseorang tersenyum, betapapun sedang tidak bahagianya orang tersebut, otak mereka akan mengeluarkan sejumlah zat kimia yang tak hanya meningkatkan sistem kekebalan tubuh, tapi sekaligus juga memberi daya angkat bagi kondisi psikologis seseorang. Suatu alat pengangkat beban jiwa, begitu kira-kira. Dengan kata lain, meski hanya berpura-pura bahagia, tapi dengan senyuman orang dapat membuat dirinya benar-benar menjadi lebih sehat dan lebih bahagia.
Jadi, tidak alasan untuk tidak tersenyum mulai hari ini.. good luck!
Wallahu a’lam

 Mengapa Rasulullah SAW Tersenyum

Rasulullah SAW adalah contoh pribadi yang agung, pribadi yang mulia. Beliau diutus sebagai rahmatan lil’alamin, rahmat bagi semesta alam. Beliau adalah penutup para Nabi dan contoh bagi semua manusia.
Hal yang menarik adalah kenapa Rasulullah selalu tersenyum, walaupun beliau dihina dan dicaci maki oleh kaumnya, bahkan ingin dicelakakan oleh sebagian orang. Artikel ini akan membahas panjang lebar tentang hal menarik ini.
Pertama, Rasulullah mengemban misi yang besar. Masih banyak hal-hal yang harus difikirkan dan diselesaikan dihadapannya. Masalah ummat dan penyebaran agama yang menguras banyak tenaga dan waktu harus dilaksanakannya demi tercapainya hal besar tersebut. Sungguh remeh apabila Beliau goyah jika ada hal kecil yang menghambat perjuangannya. Di depan mata Beliau terdapat berjuta planning dan harapan yang harus dicapainya untuk jangka waktu yang Beliau rancang. Harapan dan cita-cita harus Beliau tuntaskan bersama para sahabat-sahabatnya. Apabila masalah kecil itu menggetarkan langkahnya maka misi agung itu tidak akan tercapailah seperti sekarang ini. Harapan dan cita-cita Beliau mengalahkan berjuta cercaan dan hinaan yang dihujamkan kepada insan yang mulia ini.
Kedua, Rasulullah saw adalah pribadi yang agung. Seorang yang berkepribadian agung mempunyai jiwa yang besar. Seorang berjiwa besar akan mudah memaafkan kesalahan orang lain, karena hatinya yang luas bagaikan samudra. Seperti dikutip dari perkataan Aa’ Gym jiwa orang yang besar ibarat sebuah lapangan yang amat luas, apabila terdapat ular dan binatang berbahaya lainnya masih ada lahan lapangan yang lainnya untuk bergerak, sebaliknya jiwa orang yang kerdil akan merasakan sesak apabila terdapat sedikit saja gangguan bagi dirinya, orang lebih sedikit dari dia adalah cobaan baginya, tersinggung sedikit adalah besar baginya, dan masalah kecil ia besar-besarkan. Rasulullah adalah contoh tauladan dalam jiwa yang agung. Beliau adalah orang yang pemaaf dan mudah memaafkan. Beliau marah apabila hak Allah di injak-injak. Dalam suatu riwayat dikatakan dari Aisyah ra: “Ketika aku meletakkan gambar diruanganku aku melihat wajah Rasulullah merah padam dan beliau berkata: “Wahai Aisyah, orang yang paling berat siksaannya pada hari kiamat adalah orang yang membuat sesuatu menyerupai makhluk Allah.” (H.R. Muttafaqq Alaih) Begitulah ketegasan Rasulullah dalam menegakkan hak-hak Allah. Apabila Beliau dihina Beliau bersabar dan apabila hak Allah dipermainkan maka wajah beliau merah padam.
Ketiga, senyum adalah lambang pribadi yang optimis dan positif. Rasulullah adalah insan yang mulia. Manusia terbaik dimuka bumi ini sejak adanya. Beliau adalah pemimpin agung. Mustahillah seorang pemimpin itu mencontohkan kepesimisan. Beliau ingin mencontohkan keoptimisan dalam menggapai cita-cita bagi seluruh ummatnya. Karena Beliau ingin ummatnya optimis menggapai cita-cita mereka yang mulia. Dan juga senyum melambangkan pribadi yang positif, tidak ada gunanya marah apabila Beliau membalas kejahatan orang Yahudi yang melukainya, karena itu akan membuang tenaga Beliau saja dan masih banyak tugas Beliau di hadapan dan akan sia-sia untuk suatu perkara yang remeh. Apabila kita marah sebenarnya yang rugi adalah kita. Termakan tenaga dan waktu untuk memikirkan batu kerikil-batu kerikil tersebut. Oleh karana itu Allah mengatakan dalam Kitab-nya “Katakanlah wahai Muhammad: “Matilah dengan kemarahan kalian” bagi ‘Bithanatan Min Dunikum’ yaitu golongan yang apabila kalian terkena musibah mereka akan merasakan senang dan apabila kalain mendapatkan kenikmatan hati mereka akan sakit, maka marah adalah penyebab yang tepat untuk kematian mereka. (QS. Ali Imran:118-120)
Begitulah suri teladan dalam diri Rasulullah, seorang insan yang agung. Demikianlah tatkala seorang buta Yahudi di pinggiran kota Madinah mencaci maki Beliau, mengatakan Beliau gila, tetapi Beliau dengan santun menyuapkan kepalan nasi ke mulut orang tua tersebut. Juga kisah seorang Yahudi yang sengaja menagih uangnya lebih dari waktu yang mereka janjikan, yang dia sengaja membuat Beliau marah, tetapi beliau hanya tersenyum. Dan, juga kisah seorang Yahudi yang selalu meludahkannya pada setiap pagi, tetapi disaat ia sakit ternyata Rasulullah-lah orang yang pertama kali mengunjunginya. Sungguh Muhammad Engkau berkepribadian agung.

Mengapa harus cemberut, bila tersenyum lebih melegakkan ?

 Suatu malam, di sebuah serambi masjid terlihat seorang paruh baya tersenyum simpul, sementara disampingnya seorang paruh baya lagi wajahnya cemberut. Terlihat si wajah cemberut berulang kali menanyakan sesuatu, namun lagi – lagi si wajah tersenyum, membalas dengan senyuman. Inilah sebenarnya yang sedang mereka obrolkan antara si wajah tersenyum dengan si wajah cemberut.

”kang, saya harus gimana ya ? menghadapi si Sastro kutu kupret itu. Sewaktu dia susah, saya bimbing dia dalam berbisnis, tiga tahun dengan ikhlas saya ajari dia. Eh, la kok ujung – ujungnya dia rebut konsumen saya, apa nggak sontoloyo” begitu celoteh si wajah cemberut.

Mendengar cerita itu, si wajah tersenyumpun tidak bosan – bosan memberi senyuman sebelum berbicara.

”ikhlas kok, ngomong – ngomong ?” si wajah tersenyum membalas.

“kan, saya manusia biasa..lumrah kan ? saya ngeluh begini...”

”Ya .... yang bilang sampeyan nabi ya siapa ? lumrah ya....tapi yang lumrah belum tentu bener kan ?”

”ya...ya.....terus gimana ?”, tanya si wajah cemberut.

”Sampeyan, ga usah ngedumel dan selalu pasang wajah cemberut..... ga ada untungnya. Dengan cemberut sampeyan malah tambah stress, dan membuat orang yang melihat sampeyan ikut – ikutan stresss..”

”he..he..., jadi sampeyan mau ngasih khotbah ke saya tentang sebuah teori baru ? judulnya ”teori senyuman” begitu ?” tanya si wajah cemberut yang mulai agak tersenyum.

”Suatu hari seorang sahabat mengungkapkan isi hatinya kepada Rasulullah SAW. "Ya Rasulullah, dengan apa dan bagaimana kami harus bershadaqah?". Lalu apa jawab Rasulullah SAW ? "Inna abwabal khoiri lakatsiirun". Sesungguhnya pintu−pintu kebaikan itu sungguh amat banyak. Diantaranya mengucapkan tasbih, tahmid, takbir, tahlil (dzikir), amar ma'ruf nahi mungkar, menyingkirkan (duri, batu) dari jalan, menolong orang, sampai memberikan senyuman kepada saudara pun adalah bershadaqah. Jadi, kalau tersenyum merupakan shadaqoh .... mengapa harus cemberut ?”

Mendengar uraian itu, si wajah cemberut sedikit merenung, kemudian bertanya,

”kalo tersenyum merupakan shodaqoh, gimana kalo tersenyum sinis ? tersenyum ngledek ? tersenyum menggoda ?, apalagi yang menggoda cewek ? masak itu shodaqoh ?”

”Sampeyan ya ada – ada saja ....., begini tersenyumlah yang bersumber dari kejujuran, ketulusan hati... bukan sebuah kepura – puraan, dan tipu muslihat....jadi haru dikaji sumber dan tujuan sebuah senyuman...”


”ga paham kang ?” tanya si wajah cemberut.

”tersenyumlah sebagai ungkapan rasa syukur, karena kesulitan apapun yang dihadapi sebenarnya ada hikmahnya, dan bila disyukuri selalu ada hikmah dan bisa jadi, jalan menuju kenaikan derajat.”


”Jadi, saya harus gimana menghadapi Sastro kutu kupret itu ?” tanya si wajah cemberut.

”Mulailah.....dengan tersenyum.....”

Mendengar ungkapan terakhir, si wajah cemberut.... sedikit agak tersenyum...namun sebentar kemudian mulai cemberut lagi.


Sudahkah anda memilih berwajah tersenyum dibanding berwajah cemberut ?



 Tersenyum itu Sehat
(Tersenyum itu Sehat/Iys***)
(Tersenyum itu Sehat/Iys***)
Tersenyum merupakan sarana mengekspresikan bahasa tubuh yang menyehatkan dan menyenangkan. Ketika kita melihat foto pribadi yang terpampang di fb, album foto, ataupun foto keluarga, foto bersama rekan beraktifitas- kerja-organisasi-bisnis ataupun aktifitas lainnya, tentu dengan ekspresi wajah tersenyum yang menghiasi paparan foto–foto itu, melambangkan suasana hati yang bahagia. Sewaktu memandang foto itu tak jarang kita pun merasa gembira juga, mengenang berbagai kejadian yang terlihat difoto. Benarkah tersenyum menyehatkan? Tentu saja, jawabannya iya. Coba pandang rekan anda dalam beraktifitas, ”Jika kita sapa dia, dan ia tersenyum tentu kita juga akan merespon positif, tetapi akan terjadi sebaliknya bila anda bertemu rekan yang berwajah tampak bermuram durja, tentu menandakan mitra anda dalam beraktifitas sedang ada masalah ataupun tak sehat, begitu pula hal itu terjadi di lingkungan kelurga anda semua.”
***
Suatu research yang dilakukan oleh klinik syaraf di Illinois, Amerika Serikat, membuktikan bahwa tersenyum identik dengan olahraga. Hanya dengan sekali tersenyum ringan, sekitar 800 otot manusia di sekitar wajah berkontraksi atau meregang. Ini merupakan exersice yang efektif bagi kesehatan otot manusia. Bahkan dengan senyuman dapat menggerakkan hati dan jiwa. Hasil riset Dr Patch Adam, seorang dokter ahli kejiwaan di West Virginia, Amerika, yang melibatkan 1.000 dokter dan perawat, membuktikan bahwa pasien bisa sembuh dengan sendirinya (sugesti) melalui senyuman. Dijelaskan, saat tersenyum, otak manusia mengeluarkan seretonin yang menambah kekebalan tubuh. (dikutip dari web DD.com)
***
Jika kita pernah mendengarkan lantuan syair Nasyid Raihan berjudul ”Senyum” baik di radio, televisi ataupun internet, tentu begitu dalamnya yang dapat digali dari hikmah nasyid ini. Dengan ciri khas tembang melayu yang enak didengar dan mengandung pesan moral yang tinggi, nasyid bertajuk Senyum dilantunkan kelompok Nasyid Raihan, asal negeri jiran Malaysia, ini. Berikut potongan baitnya :
Senyum
Manis wajah mu ku lihat di sana
Apa rahsia yg tersirat
Tapi Zahirnya dpt kulihat
Msra wajahmu dengan senyuman
Senyuman…senyuman
Senyum tanda mesra
Senyum tanda sayang
Senyumlah sedekah yg paling mudah
Senyum di waktu susah tanda ketabahan
Senyum itu tanda keimanan
Senyumlah senyumlah
Senyumlah senyumlah
Hati yg gundah terasa tenang
Bila melihat senyum hatikan tenang
Tapi senyumlah seikhlas hati
Senyuman dari hati jatuh ke hati
Senyumlah 4x
senyumlah spt Rasulullah
Senyumnya bersinar dgn cahaya
Senyumlah kita hnya kerana Allah
Itulah senyuman bersedekah
Senyumlah 4x
Itulah sedekah yg paling mudah
Tiada terasa terhutang budi
Ikat persahabatan antara kita
Tapi senyum jgn di salah guna (dikutip dari pojok nasyid cybermq.com)
Dari uraian di atas dapat kita gali hikmah tersenyum baik tuk kesehatan, selain itu dari uraian lantunan bait nasyhid Raihan senyuman dapat pula sebagai sedekah, oleh karenanya, kita mulai biasakan tersenyum yuk….

Tersenyum Menghadapi Musibah 
 
“Lakukan ayah, jika itu memang perintah Tuhan. Insya Allah, engkau akan mendapatiku sebagai orang yang sabar.”
“Lakukan ayah, jika itu memang perintah Tuhan. Insya Allah, engkau akan mendapatiku sebagai orang yang sabar.”
Kalimat ini keluar dari mulut Ismail “kecil”, jauh sebelum dipilih Tuhan menjadi Nabi. Ismail pasrah setelah memperoleh penjelasan bapaknya, Ibrahim ‘alaihissalam. Ibrahim sendiri seperti tidak membayangkan sebelumnya kalau anaknya akan pasrah menerima takdir “musibah”. Bahkan mungkin hampir tidak percaya kalau itu adalah jawaban anaknya sendiri. Padahal alasannya begitu sederhana, hanya sebuah mimpi. Ismail harus menjadi korban eksperimen kepatuhan Ibrahim kepada Sang Maha Pencipta. Tapi meski masih sangat belia, Ismail pun menerima keputusan bapaknya untuk menyembelih dirinya.
“Tidak perlu kau ikat kakiku, ayah”, seru Ismail meyakinkan bapaknya tentang kesiapannya untuk menerima takdir dalam kesabaran total. Meski masih sangat belia, Ismail memahami betul kalau rencana Ibrahim menyembelih dirinya adalah keputusan Allah, bukan semata-mata nafsu hewani yang tiba-tiba muncul mendominasi pikiran dan perasaan bapaknya. Ibrahim juga sadar kalau perintah Allah ini sangat berat sehingga membutuhkan kesabaran ekstra untuk melakukannya.
Bahkan, sejak perintah itu diterima, Ibrahim masih harus menahan diri, bersabar menunggu waktu yang tepat untuk melaksanakannya. Seperti dikisahkan dalam al-Qur’an (as-Shāfāt, ayat 102), Ibrahim bersabar menungguh hingga usia Ismail dipandang cukup untuk diajak berbicara sekaligus wajar menerima keputusan. Lalu ketika Ismail telah sampai pada usia as-sa’ya, Ibrahim pun memanggilnya dan mengajaknya berdialog. Setelah selesai mengungkapkan ihwal mimpinya untuk menyembelih Ismail, Ibrahim lantas bertanya: ”Bagaimana pendapatmu, nak?”.
Ini baru satu gambaran sabar seperti diperankan Ismail dan Ibrahim ketika menghadapi ujian berat. Selain kisah di atas, al-Qur’an juga mengungkap tema kesabaran lainnya yang disajikan dalam banyak tempat dan peristiwa. Dalam surah al-Kahfi (ayat 65-82), misalnya, Allah kembali mengungkap sebuah drama kesabaran seperti diperankan Musa ’alaihissalam. Jika Ismail bersabar dalam menghadapi ujian berat melaksanakan perintah Tuhan untuk disembelih oleh ayahnya sendiri, maka Musa harus bersabar menyaksikan kenyataan tindakan-tindakan yang tidak rasional seperti diperankan Khidir ’alaihissalam.
Awalnya, sesuai petunjuk Allah, ketika Musa meminta izin untuk mengikuti Khidir kemanapun pergi, Khidir menyangsikan kesabaran Musa.
”Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”, tanya Musa seraya meminta izin Khidir.
”Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup bersabar bersamaku”, jawab Khidir tegas. ”Dan bagaimana mungkin kamu dapat bersabar atas sesuatu yang kamu sendiri belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?”, lanjut Khidir mengingatkan Musa.
Lalu Musa pun menegaskan kesanggupannya mengikuti apapun yang dilakukan Khidir: ”Insya Allah kamu akan mendapatiku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun”.
”Baik!”, kata Khidir seraya memberi izin dengan syarat, ”Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu”.
Tapi, benar, seperti diperkirakan Khidir, setelah mengikuti langkah-langkah Khidir dengan berbagai tindakan kontroversial yang diperankannya, Musa ternyata tidak sanggup menahan diri untuk bersabar terutama ketika menyaksikan serangkaian tindakan Khidir yang dinilainya sebagai sesuatu yang tidak rasional. Setiap kali Khidir memainkan peran sesuai kehendaknya, Musa pun segera protes menyatakan ketidaksetujuannya atas permainan yang diperankan Khidir.
Khidir membocorkan perahu milik nelayan miskin; lalu menegakkan kembali dinding rumah yang hampir roboh; dan akhirnya membunuh seorang anak yang tampaknya bersih tak berdosa.
Musa tentu saja tidak setuju. Ia spontan menyatakan keberatan atas tindakan-tindakan yang dilakukan Khidir. Tapi, tatkala Khidir mengingatkan Musa akan janji yang pernah diucapkan sebelumnya, Musa pun tunduk. ”Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku”, kata Musa minta ampun, ”dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku”.
Musa tidak sanggup menahan sabar karena belum memahami hikmah di balik setiap peristiwa itu. Baginya, apa yang dilakukan Khidir merupakan musibah besar. Musibah yang dapat menyengsarakan orang banyak seperti nampak ketika Khidir sengaja membocorkan perahu yang tengah ditunggangi banyak penumpang; musibah luar biasa ketika Khidir dengan sengaja menghilangkan nyawa seorang anak yang tak berdoa.
Tapi, ketika pada akhirnya Khidir menjelaskan satu persatu tindakan kontroversial yang telah dilakukannya itu, terbukalah cakrawala hikmah di balik setiap peristiwa yang sebelumnya sangat sulit dimengerti.
”Inilah isyarat hikmah (ta’wil) tentang apa-apa yang sebelumnya kamu tidak sanggup menahan sabar”, kata Khidir menutup penjelasan atas berbagai peran dramatis yang pernah membuat Musa kaget sehingga kehilangan rasa kesabarannya. Dan, atas ta’wil itu, Musa pun tulus menerimanya.
Dua kisah yang sarat hikmah di atas memberi pelajaran penting khususnya berkaitan dengan arti kesabaran. Ismail dan Ibrahim tengah memberikan pelajaran tentang keharusan bersabar dalam menjalankan setiap kebajikan yang diperintahkan-Nya, sepahit apapun. Orang sering hanya merasakan beban berat dari setiap tindakan kebajikan yang mengikat dirinya. Kesabarannya pun hilang. Padahal ada lautan hikmah terbentang di belakang setiap kebajikan.
Sementara Khidir dan Musa tengah memberikan pelajaran tentang keharusan bersabar dalam menghadapi peristiwa yang untuk sementara tampak sangat menyengsarakan. Orang sering hanya melihat sisi pahit dari setiap peristiwa yang menimpa dirinya. Kesabarannya pun sirna. Padahal ia belum mengetahui persis sisi manis di balik kesengsaraan yang terjadi.
Sayangnya, hikmah itu hampir tidak pernah tampak dalam permainan. Ia selalu bersembunyi di belakang layar. Andai saja hikmah itu dapat diketahui ketika sesuatu musibah terjadi, mungkin orang akan tersenyum menghadapinya.



 

Dari Sahabatmu

Sahabatku,
Kala kau lihat tebing menjulang di hadapanmu
Dipuncaknya ada langit yang kau tuju
Ingat,aku yang pernah berbagi mimpi denganmu
Sahabatku,
kala kau jatuh dari pendakian terjalmu
Saat kaku lelah merangkai mimpi
Ingat,aku yang pernah berbagi perih denganmu
Sahabatku,
kala kau terbang tinggi pergi melayang
Abaikan perihnya luka
Ingat,aku yang pernah berbagi sayap denganmu
Sahabatku,
kala kau sampai puncak
Mengenggam langit yang kau gapai dengan peluh
Mungkin aku hanya serpihan kecil dari sketsa – sketsa
Turut berserak dan bersulang madu manisnya riuh
Merayakan keberhasilanmu
Gelap terang,pudar tebal
Inilah aku yang pernah mewarnai kanvas hidupmu



Ia yang Selalu Tersenyum

Madinah kering-kerontang. Debu beterbangan di setiap tempat, seperti kabut tipis yang dimainkan angin. Butirannya panas seperti bara ketika memercik wajah, ngilu serta perih ketika bersarang pada sudut mata. Pelepah kurma meranggas-ranggas dengan buahnya berjuntai-juntai mendekati ranum. Sumur-sumur dan kolam air kini tinggal kubangan tanah merekah yang merana dan sepi.

Hujan sudah lama tidak pernah turun.

Suatu hari, orang-orang datang kepada Rasûlullâh Saw. Salah seorang dari mereka berkata, “Ya, Rasûlullâh. Hujan sudah lama tidak turun di Madinah. Sudilah kiranya engkau mintakan hujan kepada Rabb engkau!”
Laki-laki itu memandang lekat-lekat kepada setiap wajah yang hadir. Ia lalu memerintahkan mereka untuk memasang mimbar di tanah lapang tempat shalat. Dan sebuah hari telah dipilih agar orang-orang berkumpul di tanah lapang itu.

Hari yang ditetapkan itu pun tiba. Sekalian orang berbondong-bondong keluar dari rumah masing-masing menuju tanah lapang.

Rasul yang mulia itu pun keluar bersama dengan mereka. Ia lalu berdiri di atas mimbar, bertakbir menggelegar, dan bertahmid kepada Allah ‘azza wa jalla. Ia bersabda, “Sesungguhnya kalian mengadukan kekeringan tempat tinggal kalian. Kalian juga mengadukan mundurnya turun hujan dari permulaan waktunya. Sementara Allâh telah memerintahkan kalian untuk berdoa kepada-Nya dan berjanji untuk memenuhi permintaan kalian.”

Laki-laki kinasih itu kemudian memandang ke arah langit yang tinggi. Para sahabat yang berkumpul di tanah lapang itu pun menjadi saksi atas langit yang bersih, tempat tak sepotong mendung pun menggantung menghiasinya. Seperti tak ada harapan sedikitpun hujan bakal bisa ditumpahkan dari celah-celahnya.
Rasul Saw. lalu mengangkat kedua belah tangannya. Tinggi-tinggi menunjuk langit, sampai-sampai tampak kulit ketiaknya yang putih bercahaya diterpa sinar matahari. Kemudian ia membelakangi orang-orang dan mengalihkan kain selendangnya. Tangannya tetap terangkat ke udara. Tak lama kemudian, ia membalikkan badannya lagi dan menghadap ke orang banyak. Setelah itu, ia turun dari mimbar dan shalat dua rakaat.
Tiba-tiba, langit yang cerah itu berubah. Mendung berdatangan seperti payung-payung langit. Guntur menggelegar. Kilat menyambar-nyambar. Hujan pun turun deras seperti ditumpahkan dari langit. Tanah-tanah basah. Tempat shalat pun dialiri air yang deras.

Kerumunan di tanah lapang itu pun semburat pergi. Bergegas berlari-lari, pulang ke rumah masing-masing.
Melihat orang-orang yang bergegas pergi, Rasul yang agung itu pun tersenyum, hingga gusinya terlihat. Ia lalu bersabda, “Aku bersaksi bahwa Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu dan aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.”

***

Hujan pun terus turun dari Jum’at hingga ke Jum’at berikutnya. Seperti dituangkan dari kolam air langit yang sumbernya tak pernah habis, yang tak hendak berhenti. Kota menjadi tergenang oleh air.
Ketika itu, Rasul sedang menyampaikan khutbahnya di masjid. Kemudian seorang laki-laki berdiri dan berkata, “Ya, Rasulullah. Kami kini tenggelam sebab hujan yang tak henti-henti. Sudilah kiranya engkau berdoa kepada Rabb engkau agar Ia menghentikan hujan ini dari kami.”
Rasul yang penuh kasih itu pun tersenyum mendengarnya. Lalu laki-laki kinasih itu berdoa, “Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami dan bukan kepada kami.”

Tak lama kemudian, sekumpulan mendung seperti diperintah menyingkir ke arah kiri dan kanan, menjauhi kota Madinah. Hujan pun kini beralih hanya di sekitar kota itu. Dan Madinah seketika reda dari hujan.

***

Mulutmu, Harimaumu.

Itu berarti, mulut adalah sebuah kekuatan dua arah. Di satu sisi, ia bisa mempengaruhi orang lain dengan kekuatannya. Tetapi di sisi lain, jika salah arah, maka sebab mulut, kekuatan itu bisa berbalik arah memakan diri sendiri. Seperti ketika kau salah melepas harimaumu, maka ia sangat mungkin akan menerkam dirimu sendiri.

Karena itu, mulut harus dijaga ketat; tidak saja dalam artian fisik, tetapi juga maknawi. Ia adalah salah satu dari dua lubang yang kita miliki — disamping farji, yang rawan menghantarkan seseorang masuk ke lubang lain yang lebih mengerikan: neraka. Penjagaan itu tidak saja terbatas pada apa yang mulut keluarkan – berupa kata-kata dan segala macam suara – melainkan juga apa yang ia kesankan. Oleh karena itu, kata orang, mulut mampu mengeluarkan berjuta makna bahkan tanpa perlu berkata-kata. Mulut sangat elastis hingga bisa menekuk, mengatup, menganga, memanjang, membentuk huruf O; dimana setiap bentuk mewakili sejuta arti.

Apa yang Anda rasakan jika sedang berbicara dengan seseorang, tetapi mulutnya terkatup rapat dan kaku serupa gembok karatan menguncinya? Atau apa yang Anda rasakan setelah penat peras keringat banting tulang seharian menjumpai putri tercinta menyambut Anda di pintu rumah dengan tawa yang riang?
Itulah kekuatan mulut. Karena itu, bahkan sesungging senyum di bibir mulut yang tulus bisa berarti sangat dalam. Rasûlullâh Saw. sampai-sampai mengatakan bahwa senyuman di bibir yang menghias wajah menjadi sumringah ketika bertemu dengan seseorang merupakan shadaqah.

Bahkan Rasûlullâh Saw. adalah orang yang paling banyak tersenyum. Tetapi senyum beliau adalah senyum ketika saatnya memang layak tersenyum. Paling banter menampakkan gigi atau gusinya, tanpa terbahak-bahak. Senyum yang demikian merupakan senyum yang penuh kharisma.

Aisyah ra. sendiri pernah ditanya seseorang, “Bagaimana keadaan Rasûlullâh saat berada di rumahnya?” Istri baginda tercinta itu menjawab, “Beliau adalah orang yang paling lemah-lembut, paling murah hati, dan tak berbeda dengan seorang laki-laki diantara kalian. Hanya saja, beliau sering tertawa yang berupa senyuman.”

Senyum Rasul itu bahkan terjadi pada banyak situasi dan kondisi. Ahmad Musthafa Qasim ath-Thahthawy menulis dalam Shifatu Dhahki wa Buka’in Nabi wa Muzajuhu Ma’a Ash-habihi, bahwa senyum Rasulullah bisa dikarenakan gembira, hal-hal yang kontradiktif, pemahaman yang tepat, salah paham, canda, dan perbuatan para sahabat beliau. Rasul Saw. pun tersenyum pada musuhnya sekalipun. Ini tentu contoh tersenyum yang sangat berat untuk diteladani.
Bahkan senyum Rasûlullâh Saw. itupun bisa terukir pada sebuah kecamuk peperangan, antara hidup dan mati.

***

Thaif sementara terlalu kuat untuk ditaklukkan. Musuh telah menguasai medan yang berbukit-bukit. Sementara kaum muslimin kesulitan menembusnya, meski sudah mengerahkan pasukan yang cukup banyak jumlahnya.

Rasul Saw. pun lalu bersabda, “Insya Allah, besok kita akan kembali dari peperangan.”
Segolongan orang dari para sahabat segera menyampaikan keberatannya. “Janganlah engkau pergi petang ini, ya, Rasûlullâh, “ kata mereka sungguh-sungguh, “sebelum kita menaklukkan Thaif!”
Rasul diam sejenak, untuk kemudian bersabda, “Kalau begitu mau kalian, lanjutkan pertempuran besok pagi!”
Maka, ketika matahari menyingsing dari ufuk Timur keesokan harinya, para sahabat pun meneruskan pertempuran. Mereka bertarung dengan sengit melawan tentara musuh. Tetapi, bagaimanapun, musuh terlalu kuat untuk ditundukkan. Bahkan, ketika pertempuran usai, banyak anggota pasukan kaum muslimin yang jatuh terluka.

Rasul pun, sekali lagi, bersabda kepada mereka, “Insya Allah, besok kita akan kembali dari peperangan.”
Kali ini, para sahabat itu, tak satu pun yang angkat bicara. Semua diam. Membisu.

Rasulullah Saw. yang agung itu pun tersenyum penuh arti.
Tersenyum sajalah...
"Pokoknya, apapun keadaannya, selalu tersenyum...", begitu kata Mas Murjiman, pegawai teladan fakultas kami, salah satu tenaga administratif di bagian yang ribet: peminjaman alat, inventaris, dan pengadaan. "Walaupun dalam hatinya remuk..". Begitu lanjutnya. Di bagian itu kami selalu tertawa bersama. Ya, tersenyum sajalah!

"Nda, kenapa, sih, misuh-misuh begitu, kan malu, mosok ibu muda yang cakep misuh-misuh?" tanya saya membaca Yahoo Messenger statusnya Bunda Ochie (http://ochiepoenya.blogspot.com) yang cemberut karena koneksi 3G-nya yang mota-mati mulu itu hari itu. Tidak ada banyak jawaban dari seberang chat sana. Sebagai gantinya di YM statusnya si bunda, bila hari itu si provider layanan 3G itu tidak becus lagi, tertulis "Kenapa, yaaa, koneksinya putus terus? (tersenyum)". He..he..menikmati kekesalan periodik, gitu. Karenanya, tersenyum sajalah!

Saya kurang beruntung pagi ini. Karena terlambat di pertempuran pagi--ke masjid, membangunkan anak, menyiapkan rumah, bersih-bersih, nyuci mobil, dan sarapan yang terhambat-hambat karena disambi mencari perlengkapan seragam si sulung--mengakibatkan delay pemberangkatan "kloter" 15 menit. Di Yogya, itu berarti akan terjadi persaingan ketat di sirkuit jalan Wates-Yogya (atau di segmen jalan manapun..). Jadi, soal aturan jalan raya, yaaa.. digunakanlah standar sirkuit jalanan itu. Klakson, salip kiri, kecepatan di atas 60 km/jam, langgar traffic light, itu hal biasa. Raikonnen atau Schummy sekalipun jika disuruh balapan di prime time 06.15--07.30 di Yogya, saya yakin mereka kalah di uji kelayakan sirkuit... Nah, jika terjadi ketidakberuntungan di jalan raya itulah, entah kita disalip dari kiri, jalan kita dipotong, diklakson tanpa sebab jelas, atau terburuk bersenggolan, yaaa... terima saja. Salah sendiri tidak bangun lebih pagi dan lebih berhati-hati. Tidak usah merengut. Tidak usah sewot dengan klakson. Juga tidak usah mengucapkan mantera si Sirik melawan mBak Juwita. Santai saja. Tertawakan kehebohan pagi ini.Tersenyum sajalah!

Orang bisa jadi mengatai kita tidak becus. Hidup tidak sukses. Mungkin lebih tega lagi mengatai kita bodoh. Atau lebih jauh lagi, mereka bertindak bodoh dan membodohi kita. Atau sekedar bilang hal jelek tentang kita. Atau bahkan menjauhi karena satu hal yang tidak kita pahami. Maka lagi-lagi senyum adalah jawaban. Meski pahit, tapi tersenyum sajalah!

Rasul Agung kita pernah berkata bahwa senyum itu ibadah, karena senyum adalah bentuk terkecil dari sedekah. Simpel sekali. Gampang. Sedekah itu ternyata hanya tinggal menarik sedikit otot pipi di sekitar bibir kita, menariknya sesenti-dua senti ke kiri dan ke kanan, lalu binarkan sedikit mata, jadilah senyum yang indah! Jadi, untuk ibadah kecil-kecilan: tersenyum sajalah!

Teman saya yang jauh lebih dulu mengetahui resep ini, punya senyum yang lebih menyejukkan. Dia tahu kapan menempatkan senyum indahnya. Bahkan pertanyaan-pertanyaan yang harusnya dijawab dengan kata-kata, atau perintah yang harusnya diiyakan, oleh dia hanya dijawab dengan senyumnya yang menghipnotis itu. Waduh! Kok, serasa sudah ada jawaban? Kok, enak, ya, bertanya dengan dia. Kok.. dan seterusnya. Jelas itu senyum yang strategis, kan?

Beda kasus. Berhadapan dengan suasana sedih kita. Pekerjaan bertumpuk. Ditipu orang. Ditinggal teman baik. Kehilangan benda kesayangan kita. Atau berhadapan dengan masalah rutin di tempat tinggal kita. Mobil mogok. Ban bocor. Anak rewel. Atau mendengar kabar tidak mengenakkan perasaan. Senyum yang disambil dengan menarik nafas panjang juga mensugesti kita untuk sedikit melihat dengan cara yang berbeda semua hambatan yang beraura negatif itu. Sedikit dipaksa. Sedikit berlawanan dengan kondisi yang kita terima, tapi hasilnya, lumayan melegakan. Cobalah. Tersenyum sajalah...

Dari seluruh sisi hidup kita hanya sedikit senyum itu dilarang diterapkan. Kita hanya perlu menahan senyum saat atasan kita marah. Juga jangan lebarkan senyum saat menerima kabar duka dari orang. Atau kebetulan melihat seseorang mengalami musibah. Salah menerapkan senyum pada situasi seperti itu bisa membuat orang balik tersenyum juga kepada kita. Sinis. Ini jelas berabe.

Oh, ya.. jangan terlalu jauh berpikir. Apakah kita perlu senyum itu dengan hati yang tulus. Apakah senyum itu harus dengan doa. Apakah senyum itu juga harus mengambarkan suasana batin kita. Apakah senyum itu artifisial atau fotogenik. Jangan terlalu jauh. Santai saja. Seperti para model di depan kamera itu. Paling tidak, satu masalah di satu detik itu teratasi dengan satu langkah. Ya, senyum itu!

Jadi, sekali lagi, seperti kata Mas Murjiman, seperti kata nDa Ochie, atau bahkan seperti kata Rasul saw., saya kira sampai di titik ini kita sepakat. Salah satu solusi untuk semua kompleksitas hidup kita mungkin dengan senyum. Jadi tersenyum sajalah!


Hikmah 100 Senyuman

Disini penulis tidak menjelaskan secara terperinci mengenai 100 arti senyuman mulai 1 sampai 100. Sekedar memberi gambaran secara abstrak tentang makna senyum itu sendiri. Pertanyaan kita adalah mengapa senyum bisa membuat mata yang memandang terasa enak? nyaman ? bahkan membawa suatu kedamaian ?
Para pujangga menggambarkan bahwa senyuman itu seperti magnet yang memberikan kekuatan menarik perhatian bagi yang memandang dan di senyuman apabila di berikan denga tulus ikhlas akan tampak seperti pijaran sinar kemuliaan yang menyilaukan dan memberi terang aura bagi sipemilik senyuman itu sendiri. Coba qt hayati dalam hati yang jujur, Sudahkan kita senyum ? Kepada siapa kita harus senyum?Berapa lama senyum kita bertahan ? Bagaimana makna dari senyuman kita ? Senyuman kita tulus apa ada tedensi untuk sesuatu hal ? Jawablah dengan hati dan sudah pasti yang bisa menjawab adalah kita sendiri yang mempunyai senyuman tersebut. Lebih pantas kita bercermin pada diri kita sendiri apabila kita ingin mendapat suatu kemulyaan dari Sang Pencipta senyum yaitu Allah SWT.
Senyum adalah hidayah dari Allah SWT untuk semua hamba yang memancar seperti pijaran sinar alamiah yang memancar dari wajah - wajah makhluk ciptaan Allah SWT. Tanpa kita sadari terkadang kita selalu meremehkan arti senyum itu sendiri. Apalagi saat terjadi polemik hidup yang menghimpit jiwa justru senyum kian tenggelam dan surut oleh derita. Untuk sebuah senyum aja rasanya seperti harus membayar ratusan ribu. Amat sayang dan sulit . Sungguh memprihatinkan! Kalau sudah demikian lengkap sudah lukisan jiwa seperti rumah yang kosong tanpa cahaya penerangan. Gelap, suram dan menyeramkan. Sungguh pun demikian amat disayang apabila sinar kemulyaan dari Allah SWT kita sia-siakan. Sayang kan ? Bukankah Rasulullah pernah mengajarkan untuk senyum ? Karena senyum itu ibadah. Tinggal kita yang harus bisa menyiasati agar senyum yang kita berikan itu tidak menimbulkann fitnah. Itu tugas kita untuk mentelaah arti senyum yang akan kita berikan sebagai seorang muslim.
Seperti tema dari artikel yang ditulis oleh penulis tentang 100 Arti Senyuman kali ini adalah bagaimana cara kita menangkap arti dari senyum yang kita terima dan senyum yang seharusnya kita berikan. Dalam situasi seperti saat ini tekanan hidup kian mencengkeram leher, situasi politik menyayat hati, putusnya harapan dan cita cinta mengakibatkan hati luka patah, kegagalan dalam bercinta dan kasus lain-lain yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Apa yang harus kita lakukan suya kita bisa tersenyum ?
Disni ada beberapa tipe yang mungkin bisa membantu kita menyiasati diri agar tidak terlalu laru pada persoalan hidup dan sebaliknya kita bisa memberikan senyum yang indah dan tulus untuk semua orang. Insya Allah!
Pertama kita harus menyelami arti problematika hidup yang sedang kita alami saat ini, kita jangan takut melawan ego kita dan ikrarkan perang melawan Penyakit Hati apapun keadaannya. Hapus air mata yang ada dihati dengan terus dan selalu Istiqfar mohon kekuatan hati kepada Allah SWT. Mulailah ukir senyuman kita kepada orang lain terutama kepada yang sudah memberi senyum kepada kita.
Kedua adalah bagaimana cara kita agar senyuman itu tulus dan ikhlas ? Bicaralah denga hati dan tekankan pada jiwa dalam tendensi ridho semata- mata karena Allah SWT. Bukankah senyum itu ibadah ?
Ketiga adalah setelah kita melewati fase pertama yaitu pemahaman diri untuk sebuah kekuatan hati melawan ego dan pembelajaran diri untuk bisa tersenyum,dan setelah senyum bisa tersebut dapat kita aplikasikan kedalam kehidupan sehari-hari. Baru kemudian kita lakukan seperti fase kedua yaitu bagaimana cara kita agar bisa tulus tersenyum ataupun membalas sebuah senyuman. Sekarang adalah materi yang ke tiga adalah kita harus mampu menangkap arti senyuman yang kita terima maupun senyuman yang kita berikan. Bagaimana caranya ? Intinya kita harus tahu dan bisa menempatkan senyum kepada siapa kita harus sampaikan. Kita harus bisa pisahkan antara senyuman itu kepada seseorang yang kita hormati sebagai tanda penghormatan atau kepada saudara, rekan dan orang yang kita cintai. Ada batas-batas tertentu yang harus kita ketahui dan kita pandang sebagai norma yang harus kita jalankan. Bagaimana supaya senyuman itu tidak berdampak pada fitnah. Naudzubillah!.
Demikian sedikit gambaran tentang arti senyum. Hidup ini akan akan lebih indah apabila kita mampu mengaplikasikan senyuman tersebut kedalam hiasan kehidupan sehari-hari. Seperti air telaga bening yang tertimpa sinar Surya, begitulah ketulusan hati dan jiwa seseorang akan terpancar dari senyum yang ditunjukkan apabila dilakukannya dengan ikhlas dan tanpa pamrih. Laksana kilauan cahaya diantara gelap senantiasa memberi terang kepada keadaan sekitarnya. Seperti hamparan rerumputan hijau menyejukan mata. Sungguh senyuman adalah penghilang dahaga bagai siraman air diantara padang yang tandus. Memberi sejuk dan damai. Subhanallah! Agar kiranya kita senantiasa bersyukur ttg segala sesuatu yang sudah Allah SWT beri untuk kita jalani dan mohon kepada- NYA agar apa yang kita lakukan dalam kehidupan kita sehari-hari menjadi bekal ibadah di akherat kelak. Amin. Wass.

TETAP TERSENYUM WALAU COBAAN MENDERU

BERIKUT adalah sebuah kisah yang dinukil dari kitab "Irsyaadul 'Ibaad Ilaa SabiilirRosyaad" tentang ketabahan seorang ibu dalam menjalani cobaan yang diberikan oleh Allah SWT.

Pada satu momen, berkumpullah sahabat-sahabat Rosulullah SAW. Di antara para sahabat Nabi tersebut, ada seorang ibu yang wajahnya terlihat berseri-seri sekali, tidak nampak rasa sedih atau kerutan-kerutan di wajah beliau walau sudah berumur setengah baya. Kemudian dihampiri oleh salah satu sahabat dan sahabat tersebut bertanya:

Sahabat: Ibu ini sudah agak tua, tapi wajah ibu masih kelihatan cantik dan berseri-seri. Apa gerangan yang membuat ibu segembira ini?

(Sang ibu tersenyum, lalu beliau menjawab dengan pertanyaan)
Ibu: Adakah kira-kira di dunia ini yang mendapat cobaan dari Allah melebihi saya?

(Sahabat tersebut keheranan dan tidak habis pikir dengan jawaban sang ibu)
Kemudian sang ibu mengisahkan...

Suatu hari ketika beliau mengadakan satu walimah (acara), suami beliau menyembelih seekor kambing di belakang rumah untuk acara tersebut. Penyembelian itu disaksikan oleh 2 anak beliau.

Besoknya, setelah acara selesai, 2 anak beliau mempraktekkan penyembelian tersebut, tapi bukan pada kambing atau ayam, melainkan kakak menyembelih adik. Ya, si adik meninggal seketika karena disembelih oleh kakaknya.

Melihat adiknya meninggal, si kakak ketakutan dan berlari sekencang-kencangnya memasuki hutan belantara.

Sang ayah kemudian bergegas mencari anaknya ke hutan belantara.

Karena tak jua kembali, sang ibu menyuruh anaknya menyusul sang ayah ke hutan belantara dan mendapati pakaian ayahnya berlumuran darah. Sang ayah telah meninggal diterkam binatang buas.

Si anak segera mengambil pakaian ayahnya yang berlumuran darah dan berlari sekencang-kencangnya ke rumah. Akhirnya sampailah ia di pagar rumah dan memanggil sang ibu yang sedang pada saat itu sedang memasak di dapur.

Mendengar teriakan si anak, sang ibu bergegas ke pagar dan mendapati anaknya meninggal di tempat karena keletihan. Dan beliau lupa telah meninggalkan si bayi sendirian di dapur.

Si bayi yang mulai bisa merangkak tersebut meraih panci berisi air mendidih dan tumpah ke tubuhnya. Seketika itu juga si bayi meninggal dunia.

Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji'uun... Suami tercinta dan 4 anak yang sangat disayanginya meninggal secara bersamaan.

Inilah cobaan yang diberikan Allah SWT. kepada sang ibu. Beliau menyadari bahwa peristiwa tersebut adalah merupakan cobaan yang diberikan Allah kepada beliau. Allah telah mengambil kembali titipan yang diamanatkan kepada beliau.

Mendengar cerita sang ibu, sahabat cuma bisa terdiam dan memuji ketabahan beliau.

Masya Allah.. Luar biasa ketabahan ibu ini!

Nah, jika dibandingkan dengan cobaan yang menerpa kita, tentulah kita belum ada apa-apanya. Tapi terkadang kita larut dalam kesedihan yang berkepanjangan, bahkan ada yang mengatakan "Tuhan tidak adil." :yikes:

Akhirnya, semoga kita semua bisa mengambil hikmah dari cerita tersebut. Amiin...


 Tersenyumlah karena Berbagi

Puasa Kaum Dhuafa

Menarik sekali kalau kita perhatikan realitas kaum dhuafa yang terus teguh menjalankan ibadah puasa. Padahal, mempunyai problem sosial-ekonomi yang berimplikasi bukan saja pada status hukumnya, tapi juga motifasi spiritual bagi dirinya. Kaum berpunya relatif kecil resiko sosial-ekonominya sehingga hukum wajibnya pun tidak bisa ditawar lagi. Plus melatih diri untuk merengguh kesalehan sosial dan keselehan individual (ahsanu taqwin) yang menjadi tujuan ibadah puasa itu sendiri.
Berbeda dengan kaum dhuafa yang rata-rata berfrofesi pekerja berat (kuli bangunan, tukang becak, kuli pelabuhan dll) yang kontras dengan ibadah puasa. Dengan menahan diri untuk tidak makan dan minum sehari penuh, lebih dari cukup untuk menghambat penghasilan mereka.
Memang belum ada penelitian yang memadai untuk memotret keluh kesah kaum dhuafa dalam melaksanakan ibadah puasanya. Namun, Sudirman Teba (Sosiologi Hukum Islam, 2003) pernah melakukan survei pada beberapa tukang beca dan tukang ojek di Jakarta tentang puasa mereka. Sebagian besar menyatakan pada awal ramadhan mereka menjalan puasa, tetapi menjelang pertengahan mereka merasa tidak mampu lagi meneruskan puasanya.
Namun, lanjut Sudirman, ditemukan sejumlah kecil dari mereka yang tetap melaksanakan ibadah puasanya. Dari wajah mereka terlihat sinar iman dan semangat puasa yang teguh, tapi dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Wajah mereka memperlihatkan tanda-tanda pucat dan mulutnya berbusa-busa.
Perintah puasa bagi mereka seperti dalam QS Al-Baqarah 2;183, ditujukan untuk menjadikan diri takwa. Sebagai medium mendekatkan diri kepada Tuhan. Mereka pun sadar itu sangat sulit dan terkadang menyulitkan orangg lain.
Implikasi Hukum
Hanya saja, QS Al-Baqarah 2:183 yang berisi perintah puasa, belum mereka pahami mengandung pengecualian bagi yang berat untuk melakukannya atau tidak sanggup untuk menjalankannya. Dalam ayat itu kebolehan tidak berpuasa itu dipadatkan dalam kalimat yuthîkunahu.
Ada sebagian ulama yang memberi arti orang yang sudah lanjut usia dan orang sakit dalam waktu yang lama sehingga tidak mampu melakukan puasa. Ibnu Abbas seperti dituturkan oleh Muhammad Ali al-Shabuni, tidak membatasi hanya pada orang lanjut usia dan orang sakit, tapi siapa saja yang berat menjalankan puasa boleh meninggalkannya, namun diharuskan membayar fidyah, yaitu memberi makan kapada orang miskin dan meng-qada; (mengganti) puasa bagi orang sakit ketika sembuh di luar ramadhan.
Dari pendapat Ibnu Abbas itu, kaum dhuafa mempunyai alasan hukum (illat) untuk tidak melakukan ibadah puasa. Karena dalam ushul fiqh terdapat teori yang mengatakan ‘al-hukmu yadûru ma’a al-illah wujudan wa ‘adaman’; hukum itu terkait erat dengan alasan hukum, wajib atau tidak. QS al-Baqarah 2:185 yang masih berbicara tentang puasa, dinyatakan; ‘Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu’.
Memang dalam kitab-kitab fikih tidak ditemukan istilah kaum dhuafa seperti yang dituturkan di atas tadi. Hamat saya, kodifikasi fikih pada masa lampau belum berbeda realitas sosial-ekonomi dengan yang sekarang. Analogi kriteria kaum dhuafa, sepertinya menjadi pintu awal untuk menemukan hukum baru bagi kaum dhuafa mengenai puasa.
Secara sosiologis bisa dianalisis dari pendapat Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah yang menuturkan bahwa perubahan hukum itu terkait erat dengan waktu (azminah), tempat (amkinah) keadaan sosial-ekonomi (ahwal) dan motifasi subjek hukum (niyyah). Waktu itu, Ibn Qoyyim terinspirasi oleh perubahan sosial di daerah Andalusi yang dikenal sebagai wilayah yang mempunyai tingkat respektasi perubahan sosial, karena imperium islam meluas ke wilayah Eropa yang berbeda dengan konteks para ulama-ulama sebelumnya.
Dalam konteks ini, pengambilan hukum dari sekian penemuan alasan hukum yang muncul karena perubahan sosial, menjadi sangat relefan. Kaum dhuafa yang notabene tidak cukup memadai untuk menjalankan puasa harus diberikan konklusi hukum yang kritis-argumentatif. Implikasi hukumnya, sebagian sampel dari penelitian Sudirman itu merupakan komunitas yang boleh meninggalkan ibadah puasanya.
Akan tetapi, pandangan ini sangat kondisional mengingat ukuran mampu dan tidaknya kaum dhuafa untuk berpuasa. Kemampuan ini jelas mempunyai karakteristik yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Ini menjadi penting, kerana kriteria kaum dhufa yang sementara ini ada beragam. Ukurannya bisa dilihat dari resiko pekerjaannya (berat dan ringan), sehingga kondisi fisiknya juga berbeda.
Kaum dhuafa yang terbiasa ‘puasa’ karena secara sosial, ekonomi, politik, dan budaya telah lemah atau dipaksa lemah mempunyai kriteria yang paling memungkinkan. Bagaimana mungkin mereka menjalankan puasa dengan kadar kalori sedikit, karena makan dan minum sehari-harinya saja kurang dari memadai.
Selanjutnya bagaimana kewajiban membayar fidyah, kalau saja mereka boleh meningglkan puasa. Hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim tentang pria yang mengaku melakukan hubungan badan dengan istrinya di bulan ramadhan. Nabi bertanya: “Apakah kamu sanggup memerdekakan budah?”. “Tidak” jawabnya. “Apakah kamu kuat berpuasa dua bulan berturut-turut?”, tanya Nabi. “Tidak” imbuhnya. “Apakah kamu mempunyai makan untuk diberikan kepada 60 orang miskin?” masih ditanya nabi. “Tidak”, jawabnya. Kemudian Nabi memberi korma kepeda pria tadi sambil berucap: “Sedekahkan korma ini”. “Kepada siapa disedekahkan?, Kepada yang lebih miskin dari saya?, Demi Allah, tidak ada orang di kampung ini yang lebih membutuhkan makanan ini kecuali keluarga saya”. Maka Nabi tertawa dan berkata: “Pulanglah dan berikan korma itu kepada keluargamu”.
Dialog di atas, gambaran tidak wajibnya mengeluarkan fidyah bagi kaum dhuafa yang boleh meninggalkan puasanya itu. Meski demikian, bukan berarti tidak puasa sama sekali. Mereka tetap dituntut untuk berpuasa non fisik dengan melatih diri untuk menjaga anggota tubuh dari perbuatan dosa. Bukankan mengendalikan diri untuk tidak berbuat dosa merupakan inti puasa untuk menggapai kwalitas ketaqwaan dalam bepuasa?.
Hikmah Puasa
Sebenarnya makna strategis puasa yakni pengendalian diri, ditujukan bagi semua kelas sosial. Tapi sepertinya, pembahasan hikmah puasa lebih diarahkan bagi kelas sosial yang berkecukupuna. Misalnya dikatakan dengan menahan makan dan minum, orang terlatih untuk memantapkan jiwa, mengendorkan organ tubuh yang biasa mengkonsumi makanan dan untuk bisa merasakan penderitaan orang yang terpaksa ’puasa’ setipa hari, seperti yang dialami oleh kaum dhuafa.
Hikmah semacam ini jelas diadreskan pada kaum berkecukupan yang diintrogesi oleh egoisme duniwai setiap harinya. Bagi kaum dhuafa, hikmah itu tidak lagi relefan karena mereka belum tentu mendapatkan makan minum setiap harinya. Mereka terbiaa menahan makan dan minum setiap harinya. Sehingga menahan diri dari makan dan minum bukan lagi sebagai latihan, tetapi tuntuan keadaan; suka atau tidak suka harus mereka terima.
Kaum dhuafa yang oleh Farid Essak dilukiskan sebagai kaum yang tertindas secara sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Sikap mereka yang tenang menghadapi kesulitan hidup bukan karena sabar, tetapi karena mereka menerima kemiskinan sebagai keniscayaan hidup yang tidak bisa ditolak, Tragisnya, mereka belum tentu sadar bahwa posisi mereka telah ditindas oleh struktur sosial yang ada di lingkungannya dan tidak mampu untuk meruntuhkannya.
Barangkali hikmah puasa bagi kaum dhuafa adalah menjelaskan bahwa penderitaan itu bukan suatu keniscayaan hidup yang harus diterima. Karenanya bisa ditanamkan kesadaran kepada mereka tentang harapan masa depan dan hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak atas nama kemanusiaan universal yang dijamin oleh konstitusi kita.
Penjelasan hikmah puasa yang diadreskan pada kaum berkecukupan tanpa transformasi pentingnya penderitaan kaum dhuafa nampaknya akan sia-sia. Puasa tidak lebih dari dogma yang meretas dalam kesalehan individual yang kering dari kosakatan kepedulian sosial. Padahal ditegaskan dalam QS Al-Maûn 107:3, bahwa keengganan memberi kepada kaum dhuafa merupakan satu indikasi mendustakan agama.
Walhasil, kaum dhuafa yang telah biasa ’berpuasa’ setiap harinya dalam bebarapa kondisi dapat meninggalkan puasa ramadhan. Dan kaum berpunya hendaknya mempunyai komitmen untuk membebaskan belenggu yang melilit kaum dhuafa. Dengan kepedulian sosial, hikmah puasa sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk membebaskan beban derita kaum dhuafa, sehingga mereka diwajibkan berpuasa karena karena kondisi sosial-ekonomi yang memungkinkan bukan dengan beban hidup yang sulit mereka tanggulangi.
Smile Bosss

Kita semua tentu tahu, bahwa senyum merupakan sikap yang mudah, ceria, ringan dan sederhana untuk dilakukan. Akan tetapi, sudahkah kita melakukannya setiap hari? Jika belum, mulailah! Karena ternyata senyuman itu mengandung samudera hikmah/kemanfaatan yang luar biasa baik bagi pemberi maupun penerimanya. Dan, tulisan ini mengajak kita semua untuk tersenyum dan merasakan kemanfaatan senyuman.

Kesederhanaan dan kemanfaatan senyuman dapat kita dalami dan pahami melalui berbagai pendapat dan kata-kata bijak dari para ahlinya. Rasulullah menegaskan dalam sabdanya bahwa senyum itu ibadah. Sementara, Phyllis Diller melukiskan senyuman sebagai sebuah lengkungan yang meluruskan segala sesuatunya. Bahkan senyuman telah menjadi perbincangan mendalam oleh golongan ahli fikir dan filosofi awal seperti Locke, Schopenhaur, Spencer, Descrates dan Hartley melalui karya-karya tulisan mereka.
Senyuman adalah sikap dan energi positif yang dipancarkan lewat ekspresi wajah yang ceria dan menggembirakan. Oleh karena itu, senyuman merupakan perbuatan kecil yang mencerminkan salah satu ciri akhlak yang mulia, namun kesannya cukup besar dalam mempengaruhi keadaan (). Menurut Tanadi Santoso dalam , senyum adalah hal yang sederhana, mudah dan murah untuk dilakukan tapi hasilnya luar biasa.
Tanadi Santoso menyebutkan keluarbiasaan senyuman sebagai sebuah kekuatan universal yang menarik sekali. Disebutnya demikian, karena ia berpandangan bahwa senyuman akan menunjukkan hal yang positif. Senyum yang tulus dengan hati terbuka akan memancarkan sikap mental yang positif. Akan memancar kehangatan dari orang tersebut. Sebuah perasaan (feeling) yang mudah menular. Juga menunjukkan keterbukaan kita dengan orang lain. Terasa sebuah perasaan keyakinan (confident) akan hidup ini. Dan yang terasa lainnya, apapun yang kita katakan akan terasa lebih manis, enak didengar dan menyenangkan bagi orang lain.
Soejitno Irmim dan Abdul Rochim dalam bukunya Penampilan Pribadi yang Simpatik, menyatakan bahwa disamping senyum itu murah, tidak usah membeli dan stoknya luar biasa banyaknya, senyum ternyata memiliki daya ajaib seperti senyum dapat membangkitkan jiwa-jiwa yang lungkrah dan semangat yang terkoyak-koyak. Senyum dapat mengubah impian menjadi kenyataan.
Samudera hikmah/manfaat senyum memenuhi seluruh relung kehidupan manusia. Mulai dari sudut kepribadian, ekonomi, perasaan, kesehatan, hingga pengabdian pada Allah yang Maha Mengasihi dan Menyayangi makhluk-Nya. Dari segi kepribadian, senyum menjadi salah satu syarat untuk menjadi pribadi yang karismatik. Menurut Andrew DuBrin dalam bukunya The Complete Ideal’s Guides Leadership, orang yang mirip patung sangat sulit disebut karismatik. Untuk menunjukkan dinamisme personal, perlu sering-sering menggunakan ekspresi wajah yang hidup, yang antara lain dengan senyum yang mengembang, senyum simpul, dan ekspresi senang. Senada dengan itu, Tanadi Santoso mengatakan, senyum memiliki efek menular dan merupakan cara yang murah untuk memperbaiki penampilan. Wajah yang penuh senyum selalu bersedia menerima siapa saja.
Senyum adalah lambang optimisme, simpati, empati, keceriaan, berpikir positif, persahabatan dan sikap-sikap positif lainnya. Menurut Soejitno Irmim dan Abdul Rochim, orang yang selalu ceria dan banyak senyum mencerminkan pribadi yang optimis dan senyum membuat kita terbebas dari sikap apriori. Pribadi yang tak gentar menghadapi rintangan dan resiko yang menghadang di depan matanya. Orang yang optimis selalu punya harapan akan masa depannya. Ia menjalani hidup ini dengan nyali yang besar, karena ia yakin hanya nyali dunia ini dapat ditaklukkan. Hidup harus dilalui dengan penuh keberanian karena ketakutan merupakan setengah dari kegagalan.
Kalau kita tersenyum dada akan terasa lapang, sehingga kita dapat berpikir cerdas dan dengan hati yang bening. Kecerdasan pikiran dan kebeningan hati selanjutnya akan mencegah unsur-unsur negatif merasuk ke dalam diri. Pada akhirnya kita akan menjadi manusia yang selalu berprasangka baik dan bersikap simpatik terhadap setiap persoalan.
Dari segi ekonomi, senyuman dapat menjadikan sesuatu lebih efektif, membahagiakan dan informatif. Bahkan pepatah Orang Cina Kuno mengatakan, “Seseorang tanpa wajah yang tersenyum tidak boleh membuka toko.” Dale Carnegie dalam bukunya How To Win Fiends and Influence People mengutip pernyataan Prof. James V. McConnell, seorang psikolog di Universitas Michigan yang mengekspresikan perasaannya mengenai senyuman. “Orang yang tersenyum,” katanya, “cenderung mampu mengatasi, mengajar dan menjual dengan lebih efektif, dan membesarkan anak-anak yang lebih bahagia. Ada jauh lebih banyak informasi tentang senyuman daripada sebuah kerut di kening. Karena senyum itulah yang mendorong semangat, alat pengajaran yang jauh lebih efektif daripada hukuman.”
Senyuman menciptakan kegembiraan, membuat suasana menjadi ceria, membantu mengembangkan keinginan yang baik dalam bisnis, membangkitkan semangat, dan mempererat hubungan dengan orang lain (Ted W. Engstrom). Dan, Dale Carnegie menyimpulkan bahwa dengan melakukan tindakan tersenyum, kita dapat mengatur perasaan sehingga bersemangat dan dimampukan untuk melayani pelanggan dengan lebih baik atau menjual dengan efektif.
tegas lagi, Tjantana Jusman dalam buku Tips Memberkati Bisnis Anda menyatakan bahwa salah satu faktor penentu kesuksesan Layanan Pelanggan di banyak perusahaan ternyata adalah keramahan yang terpancar di balik senyuman para karyawannya. Dari segi perasaan, senyum adalah obat yang paling mujarab untuk mengatasi kekurangberuntungan hati dan jiwa, bahkan perang. Menurut Soejitno Irmim dan Abdul Rochim, senyum adalah obat yang paling mujarab. Dengan senyum, kita dapat menghilangkan kesedihan, gundah gulana, gelisah dah keresahan. Banyak persoalan berat yang hanya dapat dipecahkan dengan senyum. Perang bisa batal gara-gara senyum. Alangkah indahnya jika semua manusia di dunia ini pandai tersenyum, sebab di dalam senyum terdapat penawar semua niat jahat yang berkecamuk di dada manusia.
Mereka menambahkan bahwa sebuah senyuman yang diberikan dengan tulus dan ikhlas nilainya tak dapat ditukar dengan segepok uang. Senyum memberikan banyak arti bagi kehidupan manusia, dunia akan nampak suram jika kita tidak pandai tersenyum. Dengan senyum manusia dapat mencapai maksudnya, dengan senyum sesuatu yang mustahil bisa menjadi mungkin.
Selain itu, dijelaskan pula bahwa hati manusia lebih mudah ditaklukkan dengan senyuman daripada dengan kata-kata yang bernada ancaman dan paksaan. Kalau kita ingin mempengaruhi orang lain, pertama kali yang kita lakukan adalah memberinya senyum. Jarang sekali orang yang kebal terhadap senyuman, meskipun diberikan oleh orang yang tidak berarti apa-apa. Seulas senyum dapat meruntuhkan sebongkah karang yang kokoh di tengah samudera. Seulas senyum dapat mencairkan hati yang beku dan menutup kebenaran.
Senyuman memberikan sinyal perasaan keamanan bagi siapapun. Dalam sebuah situs internet ditulis, percayalah senyum itu adalah seni yang tercermin dari kedamaian hati. Semakin damai hati kita, maka senyum itu akan tersebar pada setiap insan yang terjumpai. Hingga terbersit arti “aku aman bagimu, aku menebarkan kebaikan untukmu dan aku adalah sahabat baikmu.” (http://achoey.wordpress.com/2007/12/10/senyum-adalah-kekuatan/)
Dari sudut kesehatan, terbukti senyuman dapat merangsang otot-otot wajah dan memberi kesegaran dan mengurangkan kerut-kerut di wajah, kesehatan tubuh dan jiwa dengan melepaskan tenaga emosi yang berpusat dari dalam. (http://www.geocities.com/tgk_maat/ index_sunyuman.htm). Menurut Tanadi Santoso, diperlukan lebih banyak otot untuk mengerutkan wajah dibanding memberikan senyuman. Jadi, lebih mudah untuk tersenyum daripada mengerutkan wajah. Senyum meningkatkan nilai pada wajah. Dan, tentunya membuat wajah kita lebih indah dan berseri, sehingga tampak lebih awet muda.
Lebih dari itu semua, ternyata senyuman berorientasi pada akhirat, yaitu pengabdian (ibadah) kepada Allah, sebagaimana sabda Nabi Muhammad, “Senyummu di depan saudaramu adalah sedekah.” (). Oleh karena itu, tersenyum merupakan salah satu sifat yang selalu melekat pada pribadi Rasulullah SAW. Jarir bin Abdullah Al Bujali Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Setiap kali saya menjumpai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam kecuali beliau selalu tersenyum.” (HR. Bukhari). Sehingga penulis memaknainya, bahwa tiada hari tanpa tersenyum bagi Rasulullah.
Setelah kita tahu tentang luasnya kemanfaatan senyuman, tentu akan lebih baik bila kita tahu kunci kesuksesan seulas senyuman. Kunci berfungsinya keluarbiasaan senyuman ialah dilakukan dengan penuh ketulusan dan keikhlasan yang bersumber dari lubuk hati yang paling dalam. Bukan senyum dengan keterpaksaan atau sekenanya saja.
Bagaimana senyum yang tulus dan ikhlas? Jamil Azzaini seorang Inspirator Sukses-Mulia, penulis buku Best seller Kubik Leadership dalam bukunya Menyemai Impian, Merasih Sukses Mulia memberikan tips Senyum Tulus yang disebutnya dengan Senyum “227″. Tipsnya, saat tersenyum, tarik ke atas sudut bibir kiri 2 cm, sudut bibir kanan 2 cm, dan kembangkan selama 7 detik lamanya. Senyum seperti itulah yang disebut oleh Jamil Azzaini dengan senyum yang tulus. Bukan senyum basa-basi. Bukan pula senyum service excellent ala Standard Operational Procedure (SOP) belaka.
Sebenarnya masih banyak manfaat luar biasa yang dapat kita nikmati dari seulas senyuman yang tulus dan ikhlas dari bibir mungil kita. Akan tetapi, ruang opini ini sangat terbatas untuk menampung luasnya samudera hikmah senyuman itu. Walaupun demikian, penulis berharap tulisan ini mampu untuk membuat kita tersenyum. Pembaca yang penulis banggakan, mulai saat ini, tersenyumlah! Karena dengan senyuman itulah, dunia akan tersenyum untuk dan bersama kita!



ALASAN-ALASAN MENGAPA KITA “HARUS” TERSENYUM

Senyum. Sesuatu yang sangat mudah dilakukan sebenarnya. Kita hanya perlu menarik bibir saja hingga membentuk sebuah garis senyum. Tapi, mengapa kita ‘harus’ tersenyum?
Senyum membuat kita lebih menarik. Sekarang bercerminlah. Buat wajah Anda tersenyum. Bagaimana tampaknya? Lalu, buat wajah Anda cemberut. Bagaimana tampaknya? Mana yang lebih menarik? Survey membuktikan, kita lebih terlihat menarik saat kita tersenyum. Tak percaya? Buktikan saja!
Senyum dapat mengembalikan mood yang payah. Anda merasa tidak mood saat ini? Cobalah untuk tersenyum. Meskipun pada mulanya senyum Anda tidak tulus atau dibuat-buat, tapi senyum dapat mempengaruhi tubuh untuk memperbaiki moodnya.
Senyum mudah menular. Ketika suasana di rumah atau di tempat Anda bekerja sedang suram, cobalah untuk tersenyum. Maka senyum Anda akan menulari teman-teman dan orang-orang di sekeliling Anda. Seperti senyuman bayi, yang otomatis dan tulus, akan mencairkan kebekuan kakek tua yang menunggu vonis penyakitnya dan membuatnya lebih rileks.
Stress hilang karena senyum. Senyum dapat mengendurkan saraf-saraf yang tegang. Juga membuat gurat-gurat kelelahan, capek, dan kekesalan Anda menjadi hilang. Anda pun dapat terlihat awet muda.
Senyum membuat Anda sukses. Senyum membuat Anda menjadi tampil lebih percaya diri. Nah, kepercayaan diri ini lah yang membuat Anda dapat meyakinkan klien, dapat menarik minat lebih banyak klien, dan itu pada akhirnya akan membuat Anda sukses.
Senyum membuat Anda berpikir lebih positif. Senyum tanpa diiringi dengan pikiran positif, tentu takkan bisa terlihat seperti senyum yang sebenarnya. Pikiran positif tanpa senyum pun, juga takkan mungkin. Jadi, senyum dan pikiran positif akan selalu berjalan seirama.


Jangan Tersenyum kepada Orang Buta

Jangan tersenyum kepada orang buta.
Jangan berbisik kepada orang tuli.
Dua kalimat tersebut saya simak dari seorang dai terkenal di forum pengajian. Dua kalimat tersebut dilontarkan sebagai perumpamaan tentang hal yang mubazir. Saya lebih menganggapnya sebuah pesan mendalam. Yakni, konsisten.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi IV (2008), konsisten masuk dalam kelas kata sifat. Ada dua pengertian. 1. tetap (tidak berubah-ubah); taat asas; ajek. 2. selaras; sesuai: perbuatan hendaknya -- dng ucapan.
Berkaitan dengan konsisten, negeri yang ”katanya” gemah ripah lohjinawi ini mengalami krisis moral yang begitu akut. Salah satunya, tumbuh suburnya sifat tidak konsisten alias inkonsisten. Contohnya cukup banyak. Sebut saja, kasus Gayus Halomoan Tambunan. Pegawai golongan III A itu terseret kasus makelar kasus (markus) di Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak. Negara dirugikan puluhan miliar rupiah. Diinkasi, kasus semacam ini sudah ”membudaya” di instansi tersebut. Ironis!
Saya sangat prihatin sekaligus geram dengan mencuatnya kasus itu, yang diekspos besar-besaran oleh media. Slogan ”Orang Bijak Taat Pajak” seakan-akan dikebiri oleh koruptor macam Gayus. Kegeraman itu mungkin juga dirasakan oleh banyak wajib pajak lainnya. Wajar jika kasus tersebut memunculkan plesetan ”Orang Pajak Makan Pajak.”
Tak bisa dimungkiri, kasus Gayus bisa jadi hanya ”kelas teri”. Seorang jurnalis senior dan pengamat ekonomi bahkan pernah mengatakan bahwa mungkin saja ada kasus semacam Gayus yang dapat dikatakan ”kelas hiu”, bahkan ”kelas paus”.
Kasus Gayus sebenarnya merupakan tamparan telak bagi pemerintah. Betapa tidak, pemerintah bisa disebut gagal dalam mengemban amanah rakyat: konsisten. Baik konsisten dengan janji saat kampanye pilpres maupun janji memberantas habis korupsi.
Konsisten seolah menjadi endemi di negeri yang ”katanya” kaya dan subur makmur ini. Ketika banyak orang berlomba-lomba untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin, mereka menawarkan aroma sedap kampanye: konsisten dalam memegang komitmen.
Sayang, tak ada hitam di atas putih alias tak ada surat kontrak janji. Andai itu ada dan diberlakukan, kita sebagai rakyat tentu bisa menagih konsisten yang pernah ditawarkan saat kampanye, baik pilpres maupun pilkada. Yang ada saat ini adalah banyak pemimpin berusaha ngeles alias mencari-cari alasan untuk menjaga image.
Sebuah pelajaran mungkin bisa diambil dari kisah khalifah Umar bin Khattab. Dia dikenal sebagai pemimpin yang jujur dan mau turba (turun ke bawah) untuk melihat kondisi riil rakyatnya.
Dalam suatu kisah mahsyur, Umar diceritakan pernah memanggul gandum untuk diberikan kepada wanita yang anaknya kelaparan. Wanita itu memasak batu dalam kuali untuk menenangkan anaknya yang menangis karena lapar yang amat sangat. Kejadian tersebut diketahui Umar.
Hati kecil Umar sebagai pemimpin gerimis melihat pemandangan itu. Dia bersikap gentle dan konsisten dengan tanggung jawabnya sebagai khalifah. Dia berjalan puluhan kilometer menuju rumahnya tanpa diketahui pengawalnya. Dia merasa telah berkhianat jika tak membantu wanita dan anaknya yang lapar tadi. Maka, Umar memanggul karung berisi gandum untuk diberikan kepada wanita tadi.
Ketika melihat wanita tadi memasak gandum dan melihat anaknya makan dengan lahap, Umar sedih dan terharu. Dia berkata bahwa tugas sebagai pemimpin sangat berat. Sebab, seorang pemimpin harus tahu dan peka tentang apa yang dialami oleh rakyatnya.
Maka, ketika Abdullah bin Umar, putra Umar bin Khattab, hendak dicalonkan sebagai pemimpin, Umar dengan tegas menolaknya. ”Cukup satu Umar saja dalam keluarga ini yang menjadi pemimpin. Sebab, tugas pemimpin itu sangatlah berat,” ucap Umar.
Peristiwa tersebut memang telah terjadi ratusan abad yang lampau. Namun, pengalaman Umar itu hendaknya bisa dijadikan cermin tentang pentingnya menjaga sikap konsisten. Terutama, konsisten dengan tugas dan tanggung jawab.
Kasus Gayus bisa dijadikan pelajaran untuk anak didik kita. Setidaknya, kita bisa meramu konsisten sebagai obat mujarab guna menjauhkan diri dari penyakit kronis berbahaya yang bernama korupsi.
Saya berangan-angan, kalau saja pemimpin kita mau bersikap konsisten, tentu kasus Bank Century, kasus Gayus, dan kasus serupa lain tidak akan menjadi benang kusut yang sulit diurai.
Maka, benarlah pesan yang terkandung kalimat jangan tersenyum kepada orang buta dan jangan berbisik kepada orang tuli. Rupanya, kita secara tidak sadar (atau sadar?) kerap melakukan dua hal tadi. Bahaya!
Diposting oleh ARIP PRASETYO OK Label:

0 komentar :

MARVEL and SPIDER-MAN: TM & 2007 Marvel Characters, Inc. Motion Picture © 2007 Columbia Pictures Industries, Inc. All Rights Reserved. 2007 Sony Pictures Digital Inc. All rights reserved. Template distributed by BloggerTemplatesWidgets