Minggu, 04 Juli 2010
di
12.17
|
SABAR SAAT DIUJI
Sabar itu indah kata alquran, tapi bukan
seperti dipahami oleh orang awam, sebagai sikap pasrah pada nasib yang
menimpa. Secara bahasa pun artinya sabar yaitu tahammul yakni adanya
daya tahan/ daya pikul. Sebuah kemampuan karunia allah yang paling besar
setelah iman.
Sepanjang jalan ujian, orang sabar “tidak mengeluhkan
kepedihan derita kepada siapapun juga, kecuali kepada Allah ta’ala.
Seperti ditulis Al Jurjani. Sabar adalah tanda
lulus dalam ujian musibah demi musibah. Hidup memang tidak terlepas dari
ujian, agar bisa ketahui secara nyata siapa hamba Allah yang pejuang
dan yang sabar dalam perjuangannya. (Qs Muhammad (47) : 31
Allah akan
menganugerahkan rahmat kepada yang sabar. Pahala yang tak terhingga di
dunia, dan syurga di akhrat. Ujian dengan musibah bukan untuk
menjatuhkan manusia pada kenistaan. Justru sebaliknya sebagai tanda
cinta dan rasa percaya dari Rabbul ‘alamiin kepada hambaNya. Nyatanya
para nabi, hamba Allah yang paling dimuliakan dan dicintai Nya, pun juga
harus menempuh ujian yang paling berat, dibanding orang beriman
lainnya.
Berat ringannya ujian disesuaikan dengan kadar keimanan
yang bersangkutan. Setelah lulus menjalani ujian ada pemutihan pemutihan
dosa dan ada promosi ke martabat/derajat yang lebih tinggi. Itulah yang
terjadi di zaman nabi Ayub AS: mendapat pujian ni’mal
‘abd (hamba paling baik), karena dapat membuktikan kesabaran selama
delapan belas tahun sakit semacam lepra, yang memakan seluruh tubuhnya,
hanya menyisakan lidah dan jantungnnya. Dalam ketiadaan harta semua
orang menjauh, kecuali sang istri yang setia berkat iman di dada. Allah
mengabulkan doa nabi Ayub: mengangkat penyakitnya, mendatangkan kembali
keluarga dan orang-orang bersamanya.(Qs Al Anbiyaa (21) : 83-84)
Ujian hidup bisa menimpa kita kapan saja. Baik sebagai
individu, sebagai warga masyarakat, bagian dari umat atau anak bangsa.
Itu bukan untuk dihindari, tapi untuk disikapi
dan dikelola dengan manajemen sabar.
Tanpa kesabaran sama saja dengan orang jatuh tertimpa tangga
pula. Sedangkan dengan kesabaran , berarti memiliki modal pokok bangkit
pasca musibah. Bahkan tersedia energi yang dapat membuka peluang untuk
lebih maju dari sebelumnya.
Sebagaimana dalam semangat do’a yang diajarkan Nabi
Muhammad SAW : “ Ya Allah berilah hamba pahala dalam musibah ini, dan
gantilah musibah ini dengan yang lebih baik.”
Ujian ada yang
berupa kesenangan. Disini seorang muslim harus tetap sabar dalam menaati
aturan Allah. Dengan sabar, ia menikmati kesenangan tanpa penyimpangan.
Sehingga mengundang nikmat yang lebih besar lagi.
HIKMAH SABAR DAN BERSYUKUR
Syukur dan sabar adalah kunci bagi meningkatnya keimanan akan Allah Swt,
dalam diri seseorang. Berbagai sarana telah disediakan bagi tumbuhnya
rasa syukur dan sabar dalam diri, seperti bersikap menyerahkan segala
sesuatu dan merasa ridha pada ketentuan Allah baik kenikmatan ataupun
ujian, bertafakur terhadap berlikunya nilai hikmah, evaluasi diri dan
melihat dari dekat ujian yang ditimpakan, tuntutan menyempurnakan
ikhtiar, husnudzhan kepada Allah dan lain-lain.
Syukur dan sabar juga merupakan sarana meningkatkan kualitas diri agar lebih berharga dalam pandangan Allah Swt. Seseorang yang pandai bersyukur akan senantiasa bertahtakan kesabaran, meski berada dalam ujian penderitaan.
Apapun yang kemudian mereka dapatkan, mereka kembalikan kepada yang memberikan semua itu, Allah Swt. Dan Allah Swt. Sendiri memberi tanda kepada golongan orang-orang seperti ini, sebagaimana firman-Nya: "(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan 'Inna lillaahi wa Inna Ilaihi Raaji'uun'" (Al-Baqoroh [2]:156).
Semoga sahabat senantiasa sabar dalam berbagai ujian hidup yang sedang dihadapi dan bersyukur atas karunia yang telah Allah berikan.
Wallahu a'lam bish showab.
NB:
"Syukur dan sabar juga merupakan sarana meningkatkan kualitas diri agar lebih berharga dalam pandangan Allah Swt. "
Syukur dan sabar juga merupakan sarana meningkatkan kualitas diri agar lebih berharga dalam pandangan Allah Swt. Seseorang yang pandai bersyukur akan senantiasa bertahtakan kesabaran, meski berada dalam ujian penderitaan.
Apapun yang kemudian mereka dapatkan, mereka kembalikan kepada yang memberikan semua itu, Allah Swt. Dan Allah Swt. Sendiri memberi tanda kepada golongan orang-orang seperti ini, sebagaimana firman-Nya: "(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan 'Inna lillaahi wa Inna Ilaihi Raaji'uun'" (Al-Baqoroh [2]:156).
Semoga sahabat senantiasa sabar dalam berbagai ujian hidup yang sedang dihadapi dan bersyukur atas karunia yang telah Allah berikan.
Wallahu a'lam bish showab.
NB:
"Syukur dan sabar juga merupakan sarana meningkatkan kualitas diri agar lebih berharga dalam pandangan Allah Swt. "
Hikmah Sabar Menghadapi Ujian dan Musibah
Di dalam surah al-Mulk, ALlah menyatakan
bahawa Dia menciptakan hidup dan mati untuk menguji manusia siapakah di
kalangan manusia paling baik amalnya. Dalam hidup manusia menghadapi
pelbagai bentuk ujian sama ada dalam bentuk musibah/kesusahan dan juga
ujian dalam bentuk kesenangan/kemewahan.
Seringkali apabila manusia diuji dengan musibah mereka keluh kesah dan
merana. Tapi ketahuilah bahawa di sebalik musbah itu ada hikmah yang
sangat besar.
Nabi bersabda :-إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مع عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ
اللَّهَ إذا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رضى فَلَهُ الرِّضَا
وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُErtinya : Sesungguhnya besarnya balasan
baik adalah dengan besarnya ujian dan bala (tahap ganjaran adalah
setimpal dengan tahap kesukaran mihna’), dan Allah s.w.t apabila
kasihkan satu kaum lalu akan didatangkan baginya ujian, sesiapa yang
mampu redha maka ia beroleh redha Allah dan barangsiapa yang engkar ,
maka akan beroleh azab Allah.” ( Riwayat At-Tirmizi, 4/601 ; Tuhfatul
Ahwazi, 7/65 ; Albani : Hasan Sohih)Mukmin Tulen Sentiasa Tabah Cciri
seorang mukmin tulen sebagaimana kata Nabi s.a.w :-عَجَبًا لأَمْرِ
الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا
لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُErtinya : Amat
dikagumi sifat orang mukmin, iaitu semua urusan yang menimpanya adalah
baik, dan tidaklah seorang mukmin itu kecuali apabila di timpa kebaikan,
ia bersyukur lalu menjadi kebaikan baginya; dan bila ditimpa musibha
keburukan ia bersabar dan menjadi kebaikan baginya apabila ia ditimpa” (
Riwayat Muslim)
Sabar adalah perkataan yang selalu kita ungkapkan. Apabila ada
musibah menimpa orang sekeliling kita, dengan mudah kita melafazkan,
sabarlah. However, the real test comes when we ourselves are facing
such time of trial. Baru ketika itu kita benar-benar menghayati
first hand erti sabar yang sebenarnya.Musibah dalam dalam pelbagai
bentuk sama ada kehilangan harta, perceraian, menjadi mangsa fitnah,
kematian dan sebagainya. Apa erti sebenar sabar? Bagaimana kita boleh
memberi definisi yang tuntas terhadap sabar ini. Apakah tanda
menunjukkan bahawa seorang itu benar-benar sabar menghadapi ujian itu?
Persoalan-persoalan ini sebenarnya tidak mudah diungkapkan; sudah
pastinya tidak semudah bila kita menasihatkan orang lain agar bersabar.
Abu Zakaria Ansari berkata, “Sabar merupakan kemampuan seseorang
dalam
mengendalikan dirinya terhadap sesuatu yang terjadi, baik yang
disenanginya
maupun yang dibencinya.” Abu Ali Daqaq mengatakan, “Hakikat sabar ialah
keluar dari suatu bencana sebagaimana sebelum terjadi bencana itu.” Dan
Imam al-Ghazali mengatakan, “Sabar ialah suatu kondisi jiwa yang terjadi
karena dorongan ajaran agama dalam mengendalikan hawa nafsu.”
Dengan demikian, sabar dapat berarti konsekuen dan kosisten dalam
melaksanakan semua perintah Allah. Berani menghadapi kesulitan dan tabah
dalam menghadapi cobaan selama dalam perjuangan untuk mencapai tujuan.
Karena itu, sabar erat hubungannya dengan pengendalian diri, sikap, dan
emosi. Apabila seseorang telah mampu mengawal mengendalikan nafsunya,
maka sikap/sifat sabar akan tercipta.
Selanjutnya, sabar juga berarti teguh hati tanpa mengeluh, saat
ditimpa
bencana. Jadi yang dimaksud dengan sabar menurut pengertian Islam ialah
rela menerima sesuatu yang tidak disenangi dengan rasa ikhlas serta
berserah diri kepada Allah. Dan dapat pula dikatakan bahwa secara umum
sabar itu ialah kemampuan atau daya tahan manusia menguasai sifat
destruktif yang terdapat dalam tubuh setiap orang. Jadi, sabar itu
mengandungi unsur perjuangan tidak menyerah dan
menerima begitu saja.
Sabar itu membentuk jiwa manusia menjadi kuat dan teguh tatkala
menghadapi
bencana (musibah). Jiwanya tidak bergoncang, tidak gelisah, tidak panik,
tidak hilang keseimbangan, tidak berubah pendirian. Tak ubahnya laksana
batu karang di tengah lautan yang tidak bergeser sedikit pun tatkala
dipukul ombak dan gelombang yang bergulung-gulung.
Sifat sabar itu hanya dikurniakan Tuhan kepada manusia, tidak kepada
makhluk yang lain. Sebab, di samping manusia mempunyai hawa nafsu, ia
juga
dianugerahi akal untuk mengendalikan hawa nafsu itu supaya jangan sampai
merosak atau merugikan. Sedang makhluk haiwani hanya diperlengkapi
dengan
hawa nafsu, tidak mempunyai akal. Oleh sebab itu ia tidak mampu bersikap
sabar. Malaikat juga tidak memerlukan sifat sabar, karena ia tidak
memiliki
hawa nafsu.
Sirah para anbiya’, ulama kaya dengan kisah-kisah kesabaran
insan-insan pilihan Allah (seperti kisah yang diketahui ramai tentang
ketabahan nabi Ayyub a.s. tabah menghadapi pelbagai ujian).
Bagaimanapun, bagi orang-orang awam (kebanyakan) bilakh kita mengetahui
bahawa kita telah mampu dengan izin Allah bersabar menghadapi ujian yang
besar. Seorang alim ditanyakan apakah tanda-tanda bahawa seseorang itu
telah mencapai tahap kesabaran yang tinggi jawab beliau: apabila hamba
Allah tersebut telah sampai ke satu tahap di saat hebatnya musibah di
mana kebanyakan orang akan cenderung untuk berkata mampukah lagi aku
bersabar? Namun biarpun di saat yang getir sedemikian dia masih mampu
reda dan sabar, maka itulah satu tanda dia mencapai tahap kesabaran yang
tinggi.
Sama-samalah kita berdoa agar Allah mengurniakan kita dengan sifat
yang amat sinonim dengan Mukmin sejati ini, yang begitu mudah dilafazkan
lisan namun tidak enteng diterjemahkan dalam kehidupan di saat musibah
melanda.
Wallahu ‘a’lam
SABAR: KUNCI
KECERDASAN EMOSIONAL
Manusia
mempunyai dua dimensi kepribadian. Pertama, yang disebut dengan al-bu’dul
malakuti atau dimensi kemalaikatan yang berasal dari alam malakut.
Ada satu bagian dalam diri kita yang membawa kita ke arah kesucian, yang
mendekatkan diri kita kepada Allah. Dimensi ini mendorong kita untuk
berbuat baik, mem-buat kita tersentuh oleh penderitaan orang lain, dan
mengajak kita untuk membantu mereka yang memerlukan bantuan. Dengan kata
lain, dimensi ini adalah sisi kebaikan yang ada dalam diri manusia.
Dimensi kedua, adalah dimensi kebinatangan atau al-bu’dul
bahimi. Dimensi inilah yang mendorong manusia untuk berbuat buruk,
membuat hati kita keras ketika melihat penderitaan orang lain, dan
menimbulkan rasa iri kepada orang lain yang lebih beruntung. Dimensi ini
juga menggerak-kan kita untuk marah dan dendam kepada sesama manusia.
Inilah sisi buruk dalam diri manusia.
Jika dimensi
kemalaikatan membawa manusia dekat kepada Allah, dimensi kebinatangan
membawa manusia dekat dengan setan. Setan sebenarnya tidak mempunyai
kemampuan untuk menyesatkan manusia, kecuali kalau manusia membantunya
dengan membuka sisi kebinatangannya. Karena itulah setan pernah berjanji
di hadapan Allah, Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka
semua. Kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas. (QS. Shad 82-83).
Sebenarnya yang bisa disesatkan oleh setan adalah hamba-hamba Allah yang
membuka sisi kebinatangannya. Al-Ghazali menyebut sisi ini sebagai
pintu gerbang setan atau madakhilus syaithan.
Bila orang
sering membuka pintu gerbang kebinatangannya, setan dapat masuk
melakukan provokasi di dalamnya. Oleh karena itu, bagian kebinatangan
yang ada dalam diri manusia sering disebut dengan pasukan setan. Melalui
pasukan setan inilah setan dapat mengarahkan manusia untuk berbuat
buruk. Dua dimensi ini, malakuti dan bahimi, terus menerus
bertempur dalam satu peperangan abadi yang dalam Islam disebut dengan al-jihadul
akbar, peperangan yang besar. Jihad yang agung itu adalah
peperangan melawan bagian dari diri manusia yang ingin membawa kita jauh
dari Allah. Tugas kita adalah memperkuat al-bu’dul malakuti itu,
supaya kita memenangkan pertempuran agung.
Ada dua hal
yang harus dilakukan manusia agar ia dapat memenangkan per-tempuran
agung itu, yaitu shalat dan sabar. Minta tolonglah kamu (dalam jihad
akbar ini) dengan melakukan shalat dan sabar, sesungguhnya itu berat
kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. (QS Al-Baqarah 45).
Ada sebuah
buku yang harus kita baca untuk melatih kesabaran. Buku yang ditulis
oleh Daniel Goleman itu berjudul Emotional Intelligence (1).
Menurut Goleman, para psikolog telah melupakan satu bagian penting
dalam jiwa manusia yang bernama emosi. Psikolog jarang membicarakan
emosi, padahal emosi itu sangat menentukan kebahagiaan dan penderitaan
manusia. Emosi juga melindungi manusia terhadap bebagai bahaya. Emosi
adalah hasil perkembangan evolusi manusia yang paling lama, dan emosi
terpusat pada salah satu bagian otak manusia di bawah sistem yang sudah
berkembang dalam evolusi semenjak evolusi mamalia terjadi.
Emosi sangat
mempengaruhi kehidup-an manusia ketika dia mengambil keputusan. Tidak
jarang suatu keputusan diambil melalui emosinya. Tidak ada sama sekali
keputusan yang diambil manusia murni dari pemikiran rasionya karena
seluruh keputusan manusia memiliki warna emosional. Jika kita
memper-hatikan keputusan-keputusan dalam kehidup-an manusia, ternyata
keputusannya lebih banyak ditentukan oleh emosi daripada akal sehat.
Emosi yang
begitu penting itu sudah lama ditinggalkan oleh para peneliti padahal
kepada emosi itulah bergantung suka, duka, sengsara, dan bahagianya
manusia. Bukan kepada rasio. Karena itulah Goleman meng-usulkan selain
memperhatikan kecerdasan otak, kita juga harus memperhatkan kecerdas-an
emosi. Ia menyebutkan bahwa yang menentukan sukses dalam kehidupan
manusia bukanlah rasio tetapi emosi. Dari hasil peneliti-annya ia
menemukan situasi yang disebut dengan when smart is dumb, ketika
orang cerdas jadi bodoh. Ia menemukan bahwa orang Amerika yang memiliki
kecerdasan atau IQ di atas 125 umumnya bekerja kepada orang yang
memiliki kecerdasan rata-rata 100. Artinya, orang yang cerdas umumnya
menjadi pegawai kepada orang yang lebih bodoh dari dia. Jarang sekali
orang yang cerdas secara intelektual sukses dalam kehidupan. Malahan
orang-orang biasalah yang sukses dalam kehidupan.
Lalu apa yang
menentukan sukses dalam kehidupan ini? Bukan kecerdasan intelektual
tapi kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional diukur dari kemampuan
mengendalikan emosi dan menahan diri. Dalam Islam, kemampuan
mengendalikan emosi dan menahan diri disebut sabar. Orang yang
paling sabar adalah orang yang paling tinggi dalam kecerdasan
emosionalnya. Ia biasanya tabah dalam menghadapi kesulitan. Ketika
belajar orang ini tekun. Ia berhasil mengatasi berbagai gangguan dan
tidak memperturutkan emosi-nya. Ia dapat mengendalikan emosinya.
Di dalam buku
itu, diceritakan betapa fatalnya orang yang tidak memiliki kecerdasan
emosional. Seperti dalam kisah nyata berikut ini: Pada satu saat, ada
seorang anak meminta izin kepada orang tuanya untuk menginap di tempat
kawannya. Sementara anak itu pergi, orang tuanya pergi untuk menonton
opera. Tak lama dari itu, si anak kembali ke rumah karena tidak betah
tinggal di rumah temannya. Pada saat itu, orang tuanya masih menonton
opera. Anak nakal itu mempunyai rencana. Ia ingin membuat kejutan untuk
orang tuanya ketika pulang ke rumah pada waktu malam. Ia akan diam di
toilet dan jika orang tuanya datang, ia akan meloncat dari toilet itu
sambil berteriak. Beberapa saat kemudian, orang tuanya pulang dari opera
menjelang tengah malam. Mereka melihat lampu toilet di rumahnya
menyala. Mereka menyangka ada pencuri di rumahnya. Mereka masuk ke rumah
perlahan-lahan sambil membuka pintu untuk segera mengambil pistol dan
lalu mengendap naik ke atas loteng tempat toilet itu berada. Ketika
sampai di atas, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari toilet itu.
Ditembaklah orang yang berteriak itu sampai lehernya putus. Dua jam
kemudian anak itu meninggal dunia.
Saya bisa bayangkan betapa
menyesal-nya kedua orang tua itu. Mereka bertindak terlalu cepat. Mereka
mengikuti emosi takut dan kekhawatirannya sehingga panca indranya belum
sempat menyampaikan informasi yang lengkap tentang orang yang meloncat
dan berteriak itu. Terjadi semacam Closed Circuit. Mestinya
mereka menganalisis dulu. Mereka lihat siapa orang itu. Itu menunjukkan
kurang terlatihnya kecerdasan emosional. Tidak terbiasa bersabar. Mereka
memperturutkan emosinya dalam bertindak. Orang ini dikategori-kan
sebagai orang yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah.
Sebenarnya teori Daniel ini
dapat disimpulkan dalam peribahasa Arab: man shabara zhafara, barang
siapa yang bersabar, ia akan sukses. Hal ini bisa dikaitkan bahwa
orang yang sukses dalam hidupnya adalah orang yang memiliki kecerdasan
emosional tinggi atau orang-orang yang sabar. Keadaan ini menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan antara sukses dengan kecerdasan. Kecerdasan
emosional bisa dibentuk dengan melatih kesabaran dan tekun dalam
menempuh perjalanan sabar. Seperti itulah seorang sufi yang menempuh
perjalanan menuju Allah. Ia tempuh berbagai bencana tetapi ia tetap
sabar. Itulah cara mengembangkan kecerdasan emosional.
Orang-orang
yang cerdas secara emosional adalah orang yang sabar dan tabah dalam
menghadapi berbagai cobaan. Ia tabah dalam mengejar tujuannya.
Orang-orang yang bersabar menurut Al-Quran akan diberi pahala berlipat
ganda di dunia dan akhirat: Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan
yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah
orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. Al-Baqarah 157). Ada
beberapa pahala yang akan diperoleh bagi orang yang bersabar yaitu
shalawat (keberkatan yang sempurna), rahmat, dan hidayat.
Ada tiga
jenis kesabaran; Pertama, sabar dalam menghadapi musibah. Kedua,
sabar dalam melakukan ibadah. Ketiga, sabar dalam menahan
diri untuk tidak melakukan maksiat.
Sabar dalam
menghadapi musibah pahalanya lebih besar. Bahkan menurut Al-Quran,
pahalanya diberikan tanpa perhitungan: Allah beri pahala kepadanya
tanpa perhitungan (Az-Zumar 10). Sabar dalam menjalankan ibadah
pahalanya lebih besar daripada sabar dalam menghadapi musibah. Dan sabar
dalam menahan diri akan melakukan maksiat pahalanya jauh lebih besar
daripada dua jenis sabar yang lainnya.
***
Ada sebuah
riwayat tentang kesabaran yang diceritakan dalam kitab Jihadun Nafs (2)
karya Ayatullah Mazhahiri: Dimasa Rasulullah, ada perempuan yang
memiliki anak kecil. Perempuan ini seorang muslimah. Ia tidak bisa
membaca dan menulis tapi ia mukmin yang sejati. Imannya memenuhi jantung
dan hatinya. Keimanannya dibuktikan dalam kesabaran ketika menghadapi
ujian.
Suatu hari
anaknya itu sakit sementara suaminya sedang berada di tempat jauh untuk
bekerja. Ketika suaminya bekerja, si anak kecil itu meninggal dunia.
Istri itu duduk di samping anaknya dan menangis sejenak. Ia terjaga dari
tangisannya. Ia menyadari bahwa sebentar lagi, suaminya akan pulang. Ia
bergumam, “Kalau aku menangis terus menerus di samping jenazah anakku
ini, kehidupan tidak akan dikembalikan kepadanya dan aku akan melukai
perasaan suamiku. Padahal ia akan pulang dalam keadaan lelah.” Kemudian
ia meletakkan anaknya yang sudah meninggal itu pada suatu tempat.
Tibalah
suaminya dari tempat kerjanya yang jauh. Ketika suaminya hendak masuk ke
rumah, istri itu menyambutnya dengan senyum ramah. Ia sembunyikan
kesedihan dan ia sambut suaminya dengan mengajaknya makan. Ia basuh kaki
suaminya itu. Suaminya berkata, ”Mana anak kita yang sakit?” Istrinya
menjawab, “Alhamdulillah ia sudah lebih baik.” Istri itu tidak
berbohong karena anak kecilnya sudah berada di surga yang keadaannya
jauh lebih baik. Istri itu terus berusaha menghibur suaminya yang baru
datang. Ia ajak suaminya untuk tidur hingga terbangun menjelang waktu
subuh. Sang suami bangun, mandi, dan shalat qabla subuh.
Ketika ia akan
berangkat ke mesjid untuk shalat berjamaah, istrinya mendekat sambil
berkata, “Suamiku aku punya keperluan.” “Sebutkanlah,” kata suaminya.
Sang istri menjawab, “Kalau ada seseorang yang menitipkan amanat kepada
kita, lalu pada saatnya orang itu mengambil amanat tersebut dari kita,
bagaimana pendapatmu kalau amanat itu kita tahan dan kita tidak mau
memberikan kepadanya?” Suaminya men-jawab, “Pastilah aku menjadi suami
yang paling buruk akhlaknya dan khianat dalam beramal. Itu merupakan
perbuatan yang sangat tercela. Aku wajib mengembalikan amanat itu kepada
pemiliknya.” Lalu istrinya berkata, “Sudah tiga tahun, Allah menitipkan
amanat kepada kita. Hari kemarin, dengan kehendak-Nya, Allah mengambil
amanat itu dari kita. Anak kita sekarang sudah meninggal dunia. Ia ada
di kamar sebelah. Sekarang berangkatlah engkau dan lakukanlah shalat.”
Suaminya pergi ke kamar untuk menengok anaknya yang telah meninggal.
Ia lalu pergi
ke masjid untuk shalat berjamaah di masjid Nabi. Pada waktu itu Nabi
menjemputnya seraya berkata, “Diberkatilah malam kamu yang tadi itu.”
Malam itu adalah malam ketika suami istri itu bersabar dalam menghadapi
musibah.
Dari cerita
itu kita dapat menangkap bagaimana sang istri memperlakukan suami dengan
sabar dan suami memperlakukan istri dengan sabar pula. Dalam istilah
modern, kedua suami istri itu memiliki kecerdasan emosional yang tinggi.
Biasanya keluarga seperti ini bisa bertahan lama.
***
Ada suatu
riwayat lain tentang kesabaran: Dahulu di zaman Harun Al-Rasyid,
terdapat seorang perdana menteri yang bernama Al-Asma’i. Suatu hari, ia
pergi berburu ke padang pasir. Di satu tempat ia terpisah dengan
kafilahnya. Ketika itu ia berada di tengah-tengah sahara dalam keadaan
kehausan dan kepanasan. Lalu ia melihat ada sebuah kemah di
tengah-tengah padang sahara. Ia berjalan mendekati kemah dan ia melihat
di kemah itu ada seorang perempuan muda yang sangat cantik.
Perempuan itu
sendirian. Ketika perempuan itu melihat Al-Asma’i mendekati kemah, ia
mempersilahkannya untuk masuk ke kemahnya dan menyuruhnya untuk duduk di
tempat yang agak jauh darinya. Al-Asma’i berkata kepadanya, “Tolong
beri aku air minum.” Wajah perempuan itu berubah, ia berkata, “Sungguh,
aku tidak bisa memberikan air kepadamu sebab suamiku tidak
mengizin-kanku untuk memberikan air kepada orang lain. Tapi aku punya
bagian makan pagiku yaitu susu. Aku tidak makan dan kau boleh
meminumnya.” Lalu Al-Asma’i meminum susu itu dan perempuan itu tidak
berbicara kepadanya.
Tiba-tiba ia
melihat perempuan itu berubah wajahnya. Dari jauh ia melihat ada titik
hitam mendekati kemah. Perempuan itu berkata, “Suamiku telah datang.”
Perempuan cantik itu membawa air dan pergi keluar dari kemahnya.
Ternyata suaminya yang datang itu adalah orang yang hitam, tua, dan
berwajah jelek. Perempuan itu membantu kakek tua dari untanya lalu ia
basuh dua tangan dan kaki suaminya dan dibawanyalah masuk ke dalam kemah
dengan penuh penghormatan. Kakek tua itu sangat buruk akhlaknya. Ia
tidak menegur sedikit pun kepada Al-Asma’i. Ia mengabaikan tamu dan
memperlakukan istrinya dengan kasar. Al-Asma’i sangat benci kepadanya.
Ia berdiri dari tempat duduknya dan pergi keluar kemah.
Perempuan itu
mengantarkan Al-Asma’i keluar. Saat itu, Al-Asma’i bertanya kepadanya,
“Saya menyesalkan keadaanmu. Kamu, dengan segala kemudaan dan
kecantikanmu, sangat bergantung kepada orang seperti dia. Untuk apa kamu
bergantung kepada dia? Apakah karena hartanya? Sedangkan ia orang
miskin. Atau karena akhlaknya? Sedangkan akhlaknya begitu buruk. Atau
kamu tertarik kepada dia karena ketampanannya? Padahal ia seorang tua
yang buruk rupa. Mengapa kamu tertarik padanya?”
Wajah perempuan itu pucat pasi. Lalu ia berkata dengan suara yang sangat keras, “Hai Asma’i! Akulah yang menyesalkan kamu. Aku tidak menyangka seorang perdana menteri Harun Al-Rasyid berusaha menghapuskan kecintaanku kepada suamiku dari hatiku dengan jalan menjelek-jelekkan suamiku. Wahai Asma’i tidakkah kau tahu mengapa aku melakukan semua itu? Aku mendengar Nabi yang mulia bersabda: Iman itu setengahnya adalah kesabaran dan setengahnya lagi adalah syukur. Aku bersyukur kepada Allah karena Ia telah menganugerahkan kepadaku kemudaan, kecantikan, dan akhlak yang baik. Aku ingin menyempurnakan setengah imanku lagi dengan kesabaran dalam berkhidmat kepada suamiku.”
Jadi, perempuan di atas ingin menyempurnakan setengah keimanannya dengan kesabaran setelah ia bersyukur akan kemudaan, kecantikan, dan kebaikan akhlak-nya. Ia bersabar dengan jalan mengabdikan seluruh hidupnya kepada suaminya. Jika ada orang yang bersyukur tapi ia tidak bisa bersabar, imannya tidak sempurna. Karena ia kehilangan setengah imannya yang lain. Hadis ini jangan dipandang dalam perspektif kaum feminis. Tapi pandanglah sebagai kecintaan seorang istri yang dengan sabar berkhidmat kepada suaminya.
Menurut Goleman, ketika kita meng-hadapi kesusahan, salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan melihat kembali persoalan itu dari sudut yang lain. Maksudnya, cobalah kita pahami dan tafsirkan persoalan itu secara seksama. Carilah perspektif lain dalam memandang berbagai masalah itu. Karena itu akan membawa kita kepada kondisi yang lebih kuat dalam menghadapi musibah.
Allah swt menyediakan tiga pahala bagi mereka yang bersabar:
kesejahteraan di dunia dan akhirat, rahmat dan kasih sayang Allah, dan
petunjuk dalam menghadapi berbagai kesulitan yang dihadapinya. (lihat
QS. Al-Baqarah 155-157).
1. Goleman,
Daniel, Emotional Intelligence, Bantam Books, USA, 1996.
2. Al-Ustadz
Mazhahiri, Jihad al-Nafs, Al-Mahijjah Al-Baidha. Beirut, 1993,
hal. 69-70.
Manusia
adalah maujud yang mencintai dan selalu mencari kesempurnaan mutlak.
Secara fitrah, ia terdorong untuk mencarinya namun manusia sering salah
jalan dan tersesat. Syaikh Al-Akbar, Ibn ‘Arabi mengatakan: Tak seorang
manusia pun yang mencintai selain Tuhannya. Misalnya Majnun mengira
dirinya mencintai Laila. Majnun tidak tahu dan tidak menyadari apa yang
sesungguhnya terpendam dalam fitrahnya.
Naluri dan
Fitrah
Seseorang tidak bisa dicela karena mencintai isterinya atau anaknya atau bahkan harta kekayaannya. Cinta seperti itu adalah naluri yang lumrah dan wajar (lihat QS. Ali Imran 14). Binatang pun memiliki naluri kecintaan seperti ini yang terwujud dari sifat ke-Rahman-an Allah.
Seseorang tidak bisa dicela karena mencintai isterinya atau anaknya atau bahkan harta kekayaannya. Cinta seperti itu adalah naluri yang lumrah dan wajar (lihat QS. Ali Imran 14). Binatang pun memiliki naluri kecintaan seperti ini yang terwujud dari sifat ke-Rahman-an Allah.
Karena itulah,
orang yang mengorban-kan keluarga dan anak-anak yang dicintainya
dipandang sebagai kekasih Allah.
Nabi Ibrahim
as bersedia mengorban-kan anaknya, Ismail as betapa pun besar
ke-cintaannya kepadanya. Sekiranya perasaannya terhadap anaknya sama
dengan perasaannya terhadap seekor kambing, maka kesediaannya untuk
mengorbankan anaknya tidaklah dinilai sebagai suatu keistimewaan; karena
dalam pandangannya hal itu sama dengan mengor-bankan seekor kambing.
Demikian pula
tindakan Sayyidus Syuhada, Imam Husein yang mengorbankan anak-anak,
saudara, dan kaum kerabatnya di jalan Allah swt. Imam Husein dikenal
sangat mencintai keluarganya. Kakeknya bersabda: Demi Yang jiwaku berada
di tangan-Nya, Allah tidak akan menaruh cinta kasihnya kecuali atas
hati yang memiliki cinta kasih.
Cinta Yang
Membelenggu
Jika kecintaan seseorang tumbuh dan menjadi berlebihan, maka kecintaan yang seperti inilah yang tercela. Kecintaan kepada yang nisbi dan fana secara berlebihan adalah bertentangan dengan fitrah manusia.
Jika kecintaan seseorang tumbuh dan menjadi berlebihan, maka kecintaan yang seperti inilah yang tercela. Kecintaan kepada yang nisbi dan fana secara berlebihan adalah bertentangan dengan fitrah manusia.
Plato
mengatakan: Manusia pada mulanya akan mengejar setiap yang diinginkan
dan dicintainya dengan dambaan dan harapan yang luar biasa. Namun ketika
yang dicintainya itu sudah didapatkan, maka kecintaan dan kesukaannya
akan segera berubah menjadi kebosanan dan kejenuhan.
Manusia tidak
dapat selalu bersama dengan sesuatu yang fana. Karenanya, apabila
manusia mencintai sesuatu yang nisbi secara berlebih-lebihan, maka
cintanya ini tidak saja membutakannya, bahkan membelenggunya. Tak sadar
ia telah menjadi budak dari kecinta-annya itu.
Cinta Yang
Membebaskan
Sebaliknya, cinta yang mengikuti fitrah manusia akan membebaskannya atau dengan kata lain telah menjadikannya merdeka dan terbebaskan. Imam Ali as mengatakan: Manusia di dunia ini terbagi menjadi dua. Yang pertama adalah mereka yang datang ke pasar dunia ini dan menjual dirinya hingga menjadi budak. Yang kedua adalah mereka yang membeli dirinya di pasar dunia dan menjadikannya merdeka. (Kitab Nahjul Balaghah).
Sebaliknya, cinta yang mengikuti fitrah manusia akan membebaskannya atau dengan kata lain telah menjadikannya merdeka dan terbebaskan. Imam Ali as mengatakan: Manusia di dunia ini terbagi menjadi dua. Yang pertama adalah mereka yang datang ke pasar dunia ini dan menjual dirinya hingga menjadi budak. Yang kedua adalah mereka yang membeli dirinya di pasar dunia dan menjadikannya merdeka. (Kitab Nahjul Balaghah).
Manusia yang
menjatuhkan pilihan cintanya kepada Allah melebihi segala-galanya adalah
manusia yang merdeka dan terbebas-kan. Ia menjadi tercerahkan. Manusia
pecinta Tuhan tidak bisa didikte apalagi dibeli oleh harta bahkan
kekuasaan sekali pun. Cinta yang membebaskan bukanlah cinta yang muncul
dari perasaan-perasaan sentimental.
Cinta seperti
inilah yang juga dimiliki oleh Uwais Al-Qarny, salah seorang sufi yang
mencintai keluarga Nabi saw. Banyak hadis Nabi yang menyebutkan
keutamaannya. Uwais adalah seorang yang hidup di zaman Nabi saw tetapi
tidak pernah berjumpa dengan Nabi saw. Di dalam hadis Shahih Muslim,
Nabi saw memujinya. Nabi bahkan menyuruh sahabat Umar bin Khaththab
untuk memintakan doa kepada Uwais agar dosanya diampunkan Allah. Dalam
akhir hadis tersebut diriwayatkan ketika Uwais setelah mendoakannya,
Umar bertanya kepadanya, “Engkau hendak ke mana?” Uwais menjawab, “Ke
Kufah.” Umar menawarkan surat katebelece kepadanya, “Apa tidak lebih
baik kalau saya tulis surat berkenaan dengan engkau kepada Gubernur
Kufah?” Uwais menolaknya dan berkata, “Saya lebih menyukai keadaan saya
tidak dikenal orang.”
Mengenai
keutamaan Uwais ini, Nabi saw pernah mengatakan tentangnya, “Dia tidak
dikenal di bumi tetapi terkenal di langit.” Uwais adalah contoh seorang
pecinta yang memiliki jenis cinta yang membebaskan. Cinta yang
membuatnya tidak terikat kepada hal-hal duniawi. Cinta yang
melepaskannya ke arah tujuan tercinta, Allah swt.
Alkisah, ada
seorang sufi berkunjung kepada temannya yang juga sufi. Temannya itu
kebetulan sedang sakit dan ia mengeluh tentang sakit yang dideritanya.
Sufi yang datang menengok itu berkata, “Bukan seorang pencinta sejati
bila ia mengeluhkan penyakit yang diberikan oleh kekasihnya.” Lalu sufi
yang sakit itu menjawab, “Bukan seorang pecinta sejati bila ia tidak
menikmati pemberian kekasih sejati.”
Dari cerita
di atas kita dapat menarik pelajaran berharga bahwa hendaknya kita harus
merubah persepsi tentang sakit yang pernah kita alami. Persepsi kita
selama ini adalah menganggap sakit itu sebagai suatu penderitaan yang
diberikan Allah kepada kita. Dari anggapan ini kita berkesimpulan bahwa
Allah tidak mencintai kita lagi. Sikap yang bijak adalah menikmati
keindahan sakit seperti yang dialami sufi tadi. Menikmati bukan berarti
berdiam, pasrah tanpa tindakan, tapi merenung lebih dalam akan hakikat
sakit yang diberikan oleh Allah. Proses perenungan ini akan
meng-hasilkan nilai atau pandangan yang akan mendatangkan kenikmatan
bagi kita. Dan kita akan tahu betapa nikmatnya merasakan cinta Allah
dalam bentuk sakit.
Sufi itu juga
mengajarkan kepada kita hendaknya tabah dalam menerima cobaan Allah.
Penderitaan akan mengantarkan kita kepada posisi mendekati Allah dan
membuka pintu kasih sayang Allah. Bukankah Imam Ja’far As-Shadiq as
pernah berkata, ”Kalau seseorang berada dalam kesedihan, bergegaslah
berdoa. Karena pada saat itulah Allah akan mengijabah doa orang itu.”
Rahmat Allah
datang dan mendekat ketika kita sedang didera derita. Timpaan derita
perlahan-lahan akan membuat hati kita menjadi lebih lembut dan dekat
dengan Allah. Jika pada kondisi seperti ini kita berdoa, insya Allah
Tuhan membuka pintu ijabah-Nya.
Kadang kita
tidak tahan dengan penderitaan yang menimpa. Kita tidak sabar sehingga
kita menganggap Allah tidak adil. Kita mencerca Allah dan berkata Allah
sedang menjauhkan kasih sayang-Nya dari kita. Dalam ilmu jiwa, kita ini
disebut sebagai orang yang memiliki kecedasan emosional yang rendah.
Kesabaran atau emosi kita lemah. Kita tuding Allah dengan emosi
kekesalan. Kita tidak menilai Allah dengan kelembutan cinta dan hati
yang bersih. Tidak tahukah kita bahwa kasih sayang dan keadilan Allah
sungguh lebih besar dari kasih sayang seorang ibu kepada anaknya?
Pernah suatu
hari Rasul bersama para sahabat dalam perjalanan kembali dari perang
melihat seorang ibu lari menyeruak ke tengah-tengah bekas pertempuran.
Ia gelisah, di wajah-nya tersimpan kekhawatiran yang mendalam. Ia sedang
mencari putranya. Ia berlari dihadang debu yang beterbangan disapu
angin. Akhirnya ia menemukan putranya itu. Ia dekap putranya dengan
kerinduan dan kecemasan. Diberinya-lah air susu. Matahari menyengat
panas mengenai kulit anak itu. Dengan perlahan ibu itu menggerakkan
tubuhnya, ia hadang sengatan matahari itu dengan punggungnya. Rasul
menyaksikan kejadian itu, lalu ia berkata pada sahabat yang lain, “Lihat
betapa sayangnya ibu itu kepada anaknya. Mungkin-kah ibu itu
melemparkan anaknya ke api neraka?” Para sahabat menjawab, “Tidak
mungkin, Ya Rasulallah.” Lalu rasul berkata, ”Kasih sayang Allah jauh
lebih besar dari kasih sayang ibu itu.”
Rasul pernah
didatangi oleh seorang sahabat. Ia berkata,”Ya Rasulallah harta saya
hilang dan tubuh saya sakit.” Lalu Nabi berkata, ”Tidak ada baiknya
orang yang tidak pernah hilang hartanya dan sakit badannya.
Sesung-guhnya jika Allah mencintai hambanya ia akan coba hambanya dengan
berbagai penderitaan.” Orang yang pernah kehilangan dan kesakitan
menurut Rasul ada nilai kebaikan di dalamnya. Kebaikan bisa berarti akan
tambah lembutnya hati dan mengantarkan kita untuk terus berdoa. Allah
berfirman, ”Rintihan seorang mukmin lebih disukai Allah daripada gemuruh
suara tasbih.”
Setiap saat
kita mengalami penderitaan atau memerlukan sesuatu pada Allah. Doa
adalah sarana utama untuk mencapai dan mengangkat keinginan kita itu.
Jika kita menyelidiki doa-doa dalam wacana kehidupan manusia, ada
keterkaitan yang erat antara doa dengan penderitaan.
Doa juga
memiliki ciri-ciri tertentu. Ciri ini menjadikan doa memiliki jenis atau
tingkatan tertentu. Di sisi lain jenis doa menunjukkan tingkat
perkembangan ruhani seseorang. Jenis doa itu adalah: Pertama, doa
yang paling rendah tingkatannya yaitu doa yang berisi tentang sesuatu
yang berhubungan dengan diri manusia yang sifatnya khusus. Seperti doa: Ya
Allah kayakan aku, sehatkan badanku, dan bukakan pintu keberuntungan
untukku. Isi doa itu berkenaan dengan kepentingan pribadi. Biasanya
doa jenis ini bercirikan adanya kalimat perintah kepada Allah agar Dia
berkhidmat kepadanya. Kebanyakan di antara kita menerapkan jenis doa
seperti ini. Doa ini secara langsung mengidentifikasi tingkat ruhani
kita yang masih rendah. Kita letakkan kepentingan kita di atas segalanya
di hadapan Allah. Kita lupa bahwa mengagungkan Allah jauh lebih penting
didahulukan daripada kepentingan pribadi.
Jenis doa
yang kedua, adalah jenis doa yang menunjukan adanya pengakuan
kehinaan diri dan mengagungkan Allah. Jenis ini seperti doa Nabi Yunus:
Tiada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah
termasuk orang-orang yang zalim. (QS. Al-Anbiya 87) dan doa Nabi
Adam: Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan
jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami,
niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Al-Araf
23)
Doa jenis ketiga,
adalah doa yang menunjukkan adanya cinta kasih hamba kepada Allah. Doa
ini dipenuhi oleh jeritan rindu hamba kepada kekasihnya. Doanya berisi
penyerahan total segala curahan jiwa yang ia khususkan untuk Allah saja.
Jenis doa ini, seperti yang kita ketahui, banyak dilantunkan oleh
bibir-bibir suci Ahli Bait Nabi. Simaklah doa Imam Zainal Abidin dalam Shahifah
Sajjadiyyah, pada Doa Penempuh Jalan Tarikat: Ya Allah,
untuk-Mu saja segala tercurah himmah-ku. Kepada-Mu jua terpusat
hasratku. Engkaulah hanya tempat kedambaanku, tidak yang lain. Karena-Mu
saja aku tegak terjaga, tidak karena yang lain. Perjumpaan dengan-Mu
kesejukan hatiku. Pertemuan dengan-Mu kecintaan diriku. Kepada-Mu
kedambaanku. Pada cinta-Mu tumpuanku. Pada kasih-Mu seluruh rinduku.
Isi doa di atas menunjukkan betapa kepentingan pribadi ia letakkan pada tempat yang paling bawah dari kerinduan cinta dan keagungan kekasihnya, Allah swt. Jelaslah bahwa orang seperti dia maqam ruhaninya sangat dekat dengan Allah.
Jenis doa kedua dan ketiga terkadang menyatu dalam satu doa. Di dalamnya menunjukkan adanya pengakuan kelemahan dan kehinaan diri, pengagungan kepada kekasihnya, dan cinta kasih seorang hamba yang ia khususkan tidak kepada selain Allah. Hal ini dapat dilihat lagi dalam doa Imam As-Sajjad dalam Shahifah Sajjadiyyah: Ya Allah, kepada-Mu terpaut hati yang dipenuhi cinta. Untuk mengenal-Mu dihimpunkan semua akal yang berbeda. Tidak tenang kalbu kecuali dengan mengingat-Mu. Tidak tenteram jiwa kecuali dengan memandang-Mu. Engkaulah yang ditasbihkan di semua tempat, yang disembah di setiap zaman, yang maujud di seluruh waktu, yang diseru oleh setiap lidah, yang dibesarkan dalam setiap hati.
Ada orang di antara kita yang tidak pernah merasa menderita. Ia malu mengakui penderitaannya di hadapan Allah. Ia merasa cukup akan keadaan dirinya. Bahkan ia tidak menyeru Allah dalam kondisi yang meng-khawatirkannya. Biasanya orang seperti ini hatinya keras membatu. Orang seperti ini kalau berdoa tidak akan pernah khusyuk karena dirinya selalu merasa cukup. Sikap yang paling baik adalah membiasakan diri kita untuk mengakui kelemahan kita di hadapan-Nya dan belajar untuk lebih dekat merasakan penderita-an orang-orang yang lapar, tertindas, yatim piatu, dan orang yang terpenjara karena menegakkan amar makruf nahi munkar.
Melalui proses belajar inilah kita akan diantar ke arah lembutnya hati, yang ketika berdoa Allah akan membuka pintu ijabah-Nya. Kita raih cinta Allah lewat belajar berempati agar ketika kita berdoa, kita dapat mengucapkan: Ya Allah, jadikanlah aku pecinta sejati kepada-Mu. Bukalah tabir penutup cintaku pada-Mu dengan ampunan-Mu.
Kita berucap seperti ucapan yang ditulis dalam syair Ibnu Farid:
Bila aku mati
karena cintanya, aku hidup
karena dia.
Lewat
penyangkalan diri dan
melimpahnya
kemiskinanku.
Inilah cinta,
nafsuku bukan benda nyata.
Dan ia yang
fana mesti memilih-nya jika
sedang
tergila-gila.
Hidup adalah
lamunan bebas, bagi cinta
adalah duka.
Mula-mula
terasa sakit, lalu mati,
namun maut
adalah milik nafsu cinta.
Ia hidup
dimana kekasihku melimpahkan
berkah
sebagai rahmat.
Jika
perpisahan adalah upah yang
kuperoleh
darimu.
Dan tiada
jarak lagi antara kita,
kau sebut
perpisahan sebagai persatuan.
Tiada
penolakan selain cinta,
selama kau
tak membencinya.
Dan rasa
enggan, kesukaran apa pun
akan mudah
dipikul.
Derita yang
menyiksa kita terasa nikmat.
Ketakadilan
yang diperbuat cinta adalah keadilan dan kesabaranku,
tanpa kau dan
denganmu akan
menjadikan
yang pahit terasa manis
bagiku.
Melihat
tingkatan jenis doa di atas kita akan tahu dimana posisi kita. Karena
dengan indikasi doa di atas, kita akan mengenal di mana tingkatan
ruhani kita yang sedang kita pijak. Doa menunjukkan tingkat seseorang
dalam mengembangkan potensi ruhani mendekati Allah. Jika seseorang sudah
dapat mengembangkan potensi ruhaniahnya dengan baik, dengan menempatkan
doa kita sebagai curahan kerendahan diri serta pengakuan akan keagungan
Allah, maka cinta Allah akan mudah kita capai karena tingkat ruhani
kita mengarah kepada-Nya lebih dekat. Dengan kata lain perlakukanlah
Allah dengan doa-doa yang akan menebarkan cinta-Nya kepada kita.
Sabar… Pasti Ada Hikmah di Balik Setiap Peristiwa!
Amerika
Serikat mencatat sebuah krisis finansial terburuk. Bank-bank investasi
besar bertumbangan. Indeks saham terpuruk hingga ke level
terendahnya. Krisis finansial akibat subprime mortgage yang
melanda negara itu ternyata turut berimbas ke negara-negara lainnya.
Terkena domino effect. Lintas benua. Tidak terkecuali, negara
kita Indonesia.
Akibat
krisis tersebut, salah satunya menyebabkan peningkatan jumlah
pengangguran di seluruh dunia. Banyak tenaga kerja dirumahkan tanpa
pandang bulu, dari level pekerja bawah hingga pekerja tingkat CEO.
Jangankan para pekerja level rendah dan menengah atas. Bahkan dalam
kondisi tersebut, kebangkrutan
pun menghantui dan menimpa para owner dan stakeholder.
Mau bagaimana lagi?
PHK atau
pemutusan hubungan kerja,kejadian itu ternyata juga menimpa adik ipar
saya beberapa bulan lalu. Dia bekerja sebagai manajer pemasaran di suatu
perusahaan multinasional yang bergerak dibidang alat pendingin. Kurang
lebih tujuh tahun lamanya dia telah bekerja di perusahaan tersebut. Dia
mendapatkan pula semua hal yang menurut standar tergolong lumayan. Gaji
yang didapat layak untuk hidup di Jakarta, fasilitas mobil, asuransi
kesehatan keluarga, berkesempatan untuk bepergian hingga ke luar
negeri—walaupun dalam rangka urusan bisnis, bukan liburan.
Dia
bercerita, target penjualan di Indonesia terbilang cukup bagus, tidak
buruk. Tetapi karena omset di negara lainnya khususnya China merosot
tajam, maka secara total omset dunia ikut terimbas, sehingga
dikategorikan anjlok, turun tajam. Perusahaan tempat dia bekerja hampir
merumahkan seluruh karyawannya. Bagi saya perusahaan tempat dia bekerja
masih tergolong pengertian. Masih memberikan sejumlah pesangon kepada
para pekerja yang dirumahkan. Dan, dia mau tidak mau, suka tidak suka
terkena dampak global tersebut. “Hmm, tetapi masih lumayanlah ada
pesangon, agak bisa survive untuk sementara waktu,” pikir saya.
Saya
melihat dia telah menghidupi keluarganya dengan cukup memadai. Mendengar
kabar nyata yang tidak menggembirakan tersebut cukup membuat keluarga
besar saya terhenyak. Termasuk saya. Saya cemas memikirkan dua orang
keponakan saya yang masih kecil-kecil itu. Bayangkan saja beberapa
minggu setelah kelahiran anaknya yang kedua, dia di-PHK dengan sejumlah
uang pesangon, yang jumlahnya sekitar seratus jutaan. Jumlah yang
mungkin relatif lumayan. Tetapi, tentu saja kalau tidak diatur dengan
baik, akan habis dalam kisaran satu, dua, atau hingga tiga tahun untuk
memepertahankan keberlangsungan hidup keluarganya.
Uang
sebesar itu dia investasikan dan upayakan di dalam bisnis konveksi
kecil-kecilan. Sebagian untuk membayar cicilan kartu kredit dan rumah.
Sebagian buat berjaga-jaga untuk beberapa bulan ke depan. Dia tetap
terus melakukan usaha dengan melamar kerja dan tetap mencari informasi
melalui networking dan sahabatnya. Dia tetap mencari
peluang agar dapat terus produktif dan mempertahankan perannya sebagai
kepala keluarga.
Usaha dan
doanya membuahkan hasil dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama.
Kurang dari tiga bulan, dia sudah mendapatkan pekerjaan barunya di
perusahaan lokal. Walaupun perusahaan lokal, gaji dan fasilitas yang
didapatnya tidak berbeda jauh dengan sebelumnya. Mendengar kabar ini,
saya lalu bersyukur dan menjadi tenang. Alhamdulillah.
Secara
personal, kalau saya diperbolehkan menilai adik ipar ini, dia adalah
sosok yang lurus. Tidak “neko-neko”. Saya bisa ambil satu contoh, dia
tidak pernah me-reimburse ke perusahaannya tiket tol dan bensin
mobilnya yang dipakai secara tidak sengaja pada hari libur (padahal
bisa saja, karena posisinya). Bahkan, sisa uang saku untuknya dari dinas
atau urusan bisnis ke luar negeri pun dikembalikan ke perusahaannya.
Bagi saya ini sungguh luar biasa. Saya pun belum tentu dapat
melakukannya, walaupun dalam perusahaan saya bekerja memang tidak
memungkinkan hal tersebut.
Sebagai
sulung dia bertanggung jawab penuh atas ibu bapak dan adik-adiknya di
rumah. Terlebih lagi tehadap istri dan anak-anaknya. Pribadinya yang
jujur dan menjalankan ibadah dengan baik memandu dirinya menerima
keputusan PHK itu dengan sabar, hati yang tabah, dan tetap terus
berusaha (Mudah-mudahan pribadi tersebut terus dijaga Tuhan YME untuk
stabil seperti itu. Amin).
Hikmah
dari kejadian tersebut menyadarkan saya bahwa Tuhan berkuasa atas segala
sesuatu. Tuhan selalu memberikan kita cobaan. Dapat kelihatan oleh kita
sebagai sesuatu yang baik atau buruk. Tuhan menyuruh kita untuk
bersabar atas segala sesuatu. Tetap optimis dalam setiap kondisi
kehidupan. Selalu yakin bahwa Tuhan selalu sayang sama kita,
makhluk-Nya. Bila kita terus berdoa dan berupaya, Tuhan akan selalu
mendengarkan doa kita. Seperti firman-Nya: “Aku selalu berdasarkan
atas prasangka hamba-Ku.”
Tuhan Maha
tahu yang terbaik untuk hamba-Nya. Dalam kejadian adik ipar saya itu,
Tuhan telah berkehendak. Tuhan telah “memaksanya” dan “memberkatinya”
memasuki dunia kewirausahaan tanpa bersusah payah mengumpulkan modal
usaha terlebih dahulu. Umumnya,orang-orang bertahun-tahun dan
sedikit-sedikit mengumpulkan uang sebagai modal usaha. Dia dengan
mudahnya seperti mendapat uang kaget yang menjelma dalam bentuk uang
pesangon.
Tidak
hanya itu, Tuhan juga memberi “modal” akan hikmah dari suatu kejadian.
Kejadian atau cobaan tersebut yang direspon dengan sabar, tidak berkeluh
kesah, dan frustrasi. Hikmah terdalam yang tentunya akan diperoleh
seorang manusia apabila hamba-Nya itu bersabar, berusaha, dan berdoa
kepada-Nya.
Jadi, saya
berharap dan berkeyakinan, mudah-mudahan kita selalu menjadi makhluk
yang tidak lupa bersyukur. Bersyukur dan yakin bahwa kita selalu akan
dipelihara dan diperhatikan oleh Sang Khaliq. Sang Pencipta kita,
seluruh alam raya dan isinya. Sudah sepatutnya kita sadar serta
merendahkan diri kepada-Nya. Amin.[msa]
Diposting oleh
ARIP PRASETYO OK
Label:
MOTIVASI
0 komentar :
Posting Komentar